Pemahaman Tentang Surat Kuasa Dalam Beracara di Peradilan Tata Usaha Negara


PEMAHAMAN TENTANG SURAT KUASA
DALAM BERACARA
DI PERADILAN TATA USAHA NEGARA

Oleh: Andi Muh. Ali Rahman, SH.,MH.[1]
A.      Pendahuluan
P
enggunaan surat kuasa saat ini sudah sangat umum di tengah masyarakat untuk berbagai keperluan. Pada awalnya konsep surat kuasa hanya dikenal dalam bidang hukum dan digunakan untuk keperluan suatu kegiatan yang menimbulkan akibat hukum, namun akhirnya surat kuasa mengalami perkembangan dan bahkan sudah digunakan untuk berbagai keperluan sederhana dalam berbagai bidang dalam kehidupan masyarakat.
Apa sebenarnya definisi surat kuasa itu? Ada banyak pihak yang telah mendefinisikan tentang surat kuasa, malahan definisi-definisi tersebut justru sampai saat inipun masih menimbulkan perdebatan dikalangan pakar-pakar hukum[2]. Hal ini disebabkan oleh karena pada dasarnya tidak ada aturan hukum secara khusus yang dapat memberikan definisi tentang surat kuasa. Oleh karenanya, untuk dapat lebih memahami hal tersebut, terlebih dahulu perlu dipahami apakah kuasa itu.
Untuk membahas pengertian kuasa, acuannya hanya ada pada pengertian yang terdapat di dalam Pasal 1792-1819 KUHPerdata sebagai dasar hukum berlakunya kuasa di Indonesia.
Pasal 1792 KUHPerdata mengatur: Pemberian kuasa adalah suatu perjanjian dengan mana seorang memberikan kekuasaan kepada seorang lain, yang menerimanya, untuk atas namanya menyelenggarakan suatu urusan”.

Kuasa adalah persetujuan (baik lisan maupun tulisan) dimana seseorang bertindak sebagai pemberi kuasa dan pihak lain bertindak sebagai penerima kuasa dan atas nama pemberi kuasa melakukan suatu perbuatan atau tindakan. Bila seseorang hendak mengajukan tuntutan hukum di muka Pengadilan karena merasa haknya dilanggar oleh pihak lain dapat diwakili oleh Kuasa. Dalam prakteknya, banyak sarjana hukum yang menerjemahkan surat kuasa sebagai pemberian kuasa. Akan tetapi dalam perkembangan hukum di negeri Belanda melalui Pasal 3:60 ayat (1) Nieuw Burgerlijk Wetboek, sebuah kitab revisi KUHPerdata Belanda, telah diatur pengertian tentang kuasa (volmacht) dan pemberian kuasa (lastgeving). Pada prinsipnya, volmacht berbeda dengan lastgeving. Kuasa (volmacht) merupakan tindakan hukum sepihak yang memberi wewenang kepada penerima kuasa untuk mewakili pemberi kuasa dalam melakukan suatu tindakan hukum tertentu (Hoge Raad 24 Juni 1938 NJ 19939, 337). Tindakan hukum sepihak adalah tindakan hukum yang timbul sebagai akibat dari perbuatan satu pihak saja, misalnya pengakuan anak dan pembuatan wasiat. Sedangkan Lastgeving adalah suatu perjanjian pemberian beban perintah di mana penerima beban perintah (lasthebber) mengikatkan dirinya kepada pemberi beban perintah (lastgever) untuk melakukan satu atau lebih tindakan hukum guna kepentingan lastgever[3]. Lastgeving merupakan suatu persetujuan sepihak, di mana kewajiban untuk melaksanakan prestasi hanya terdapat pada satu pihak. Dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa Pasal 1792 KUHPerdata merupakan lastgeving dan pada dasarnya pemberian kuasa ini bersifat cuma-cuma (Pasal 1794 KUHPerdata).
Jadi, lastgeving merupakan perjanjian pembebanan perintah yang menimbulkan kewajiban bagi si penerima kuasa untuk melaksanakan kuasa[4], sedangkan volmacht merupakan kewenangan mewakili tanpa menimbulkan kewajiban bagi si penerima kuasa untuk melaksanakan kuasa[5]. Suatu pemberian kuasa (lastgeving) tidak selalu memberikan wewenang untuk mewakili pemberi kuasa. Dalam lastgeving dimungkinkan adanya wewenang mewakili (volmacht), akan tetapi tidak selalu volmacht merupakan bagian dari lastgeving. Apabila wewenang tersebut diberikan berdasarkan persetujuan pemberian kuasa, maka akan terjadi perwakilan yang bersumber dari persetujuan. Pada Negara common law/anglo saxon, pemberian kuasa (Power of Attorney) yang muncul juga merupakan perbuatan sepihak[6]. Cirinya adalah penerima menyebut suatu nama pemberi kuasa pada waktu melakukan tindakan hukum yang disebut perwakilan langsung. Namun diakui juga adanya perwakilan tidak langsung yakni apabila penerima kuasa bertindak untuk dirinya sendiri seperti makelar.
Pada umumnya kuasa diberikan secara sepihak, dan hanya menimbulkan wewenang bagi penerima kuasa (substitutor), tapi tidak menimbulkan kewajiban bagi penerima kuasa untuk melaksanakan kuasa itu sehingga tidak memerlukan tindakan penerimaan dari penerima surat kuasa, akan tetapi hal ini masih menjadi perdebatan. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya kejadian seputar surat kuasa yang menimpa advokat/penasihat hukum di pengadilan. Bahkan sebagian hakim masih menjalankan rutinitas memeriksa kelengkapan surat kuasa yang digunakan advokat/penasihat hukum ketika bersidang, khususnya tentang kewajiban para pihak menandatangani surat kuasa untuk menyatakan sahnya surat kuasa tersebut.
Trimoelja D. Soerjadi berpendapat bahwa tindakan hakim itu merupakan tindakan salah kaprah, karena menurutnya tidak ada ketentuan yang mensyaratkan penerima kuasa untuk menandatangani surat kuasa[7]. Kewajiban ini muncul pada tahun 1980-an dan sebelumnya tidak pernah ada penerima kuasa harus tanda tangan. Beliau memperkuat argumennya dengan mendasarkan pada Pasal 1793 KUH Perdata yang menyatakan bahwa penerimaan kuasa dapat pula terjadi secara diam-diam dan disimpulkan dari pelaksanaan kuasa itu oleh si kuasa. Akan tetapi sampai saat ini, untuk kepentingan di pengadilan, pemberian kuasa harus dibuktikan dengan adanya tindakan pemberian dan penerimaan dari si pemberi maupun penerima kuasa berupa tanda tangan. Hal ini didasarkan pada pemahaman bahwa pemberian kuasa merupakan suatu bentuk perikatan hukum yang lahir karena kesepakatan kedua belah pihak yang menimbulkan hak dan kewajiban pada masing-masing pihak sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1792 KUHPerdata, dan bukti lahirnya kesepakatan dalam perikatan hukum tertulis adalah kedua belah pihak harus menandatanganinya. Pemberian Kuasa dapat juga berarti pelimpahan wewenang. Pemberian Kuasa secara tertulis dapat dilakukan secara akta notaris maupun dibawah tangan.
Pemberian kuasa (lastgeving) yang terdapat dalam Pasal 1792 KUHPerdata itu mengandung unsur:
·      persetujuan;
·      memberikan kekuasaan untuk menyelenggarakan suatu urusan; dan
·      atas nama pemberi kuasa.

Unsur persetujuan ini harus memenuhi syarat-syarat persetujuan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1320 KUHPerdata:
o  sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
o  kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
o  suatu hal tertentu; dan
o  suatu sebab yang halal.

Unsur memberikan kekuasaan untuk menyelenggarakan suatu urusan adalah sesuai dengan yang telah disetujui oleh para pihak, baik yang dirumuskan secara umum maupun dinyatakan dengan kata-kata yang tegas.
Unsur atas nama pemberi kuasa berari bahwa penerima kuasa diberi wewenang untuk mewakili pemberi kuasa. Akibatnya tindakan hukum yang dilakukan oleh penerima kuasa merupakan tindakan hukum dari pemberi kuasa.
Macam-macam kuasa:
1.    Kuasa Khusus (Pasal 123 HIR, 147 RBg dan SEMA No. 6 Tahun 1994 tanggal 14 Oktober 1994)
Suatu kuasa yang diperuntukkan untuk di Pengadilan. Syarat-syaratnya adalah:
a)    Harus berbentuk tertulis;
b)    Dapat dibuat secara dibawah tangan, dapat dibuat oleh Panitera Pengadilan yang kemudian dilegalisir oleh Ketua Pengadilan Negeri atau Hakim dan dapat pula berbentuk akta autentik yang dibuat dihadapan Notaris;
c)     Harus menyebut Identitas para pihak yang berperkara;
d)    Menegaskan objek dan kasus yang diperkarakan
e)    Dalam perkara pidana, harus menyebutkan identitas Terdakwa dan Penasihat Hukum serta menyebutkan pasal-pasal yang diduga/didakwakan.

2.    Kuasa Istimewa (Pasal 1796 KUHPerdata, Pasal 157 HIR/841 RBg)
Bentuk kuasa ini harus memenuhi syarat-syarat tertentu:
a)    Berbentuk akta autentik;
b)   Limitatif;
c)    Kata-kata tegas, misalnya untuk mengatakan pengakuan, membuat perdamaian, untuk mengucapkan sumpah, untuk memindahtangankan, untuk hipotek, dan sebagainya.

3.    Kuasa Mutlak
Diluar Pengadilan, mungkin didalam lalu lintas perdagangan, ada yang dikenal sebagai kuasa mutlak. Misalnya dalam hal penjualan tanah, kuasa tersebut berisikan: kuasa tidak dapat dicabut, dengan matinya pemberi kuasa tidak diikuti dengan pengakhiran kuasa.
4.    Kuasa Lisan (Pasal 120 HIR ayat 1/Pasal 147 ayat 1 RBg)
Kuasa lisan terjadi karena atau diangkat oleh salah satu pihak yang berperkara di Pengadilan. Berarti pemberian kuasa lisan terlaksana di depan hakim. Jika penggugat tidak pandai membaca dan menulis sehingga tidak dapat membuat surat gugat, maka ketika penggugat memohon gugatan lisan kepada Ketua Pengadilan, maka seraya itu dia menunjuk kuasanya. Dapat pula kuasa tersebut disampaikan secara lisan didepan persidangan.
5.    Kuasa yang ditunjuk dalam Surat Gugat (Pasal 124 ayat 1 HIR/ 147 ayat 1 RBg).
Dalam surat gugat, penggugat sekaligus menunjuk dengan mencantumkan nama penerima kuasa, secara jelas dan terang, agar dia bertindak sebagai kuasa dalam proses pemeriksaan perkara.
6.    Kuasa Pengganti/Limpahan (Substitusi)
Kuasa demikian diberikan oleh penerima kuasa, agar dapat mewakili penerima kuasa dalam melakukan tindakan. Kuasa pengganti ini dapat diberikan bilamana kuasa dari prinsipal berisi pula wewenang untuk mengalihkan kuasa tersebut baik secara sebagian maupun keseluruhan.
7.    Kuasa Perantara (Pasal 1792 KUHPerdata juncto Pasal 62 KUHD)
Kuasa demikian lazim digunakan dalam dunia perdagangan. Orang menyebutnya Perwakilan atau Agen untuk melakukan sesuatu atau Commercial Agency atau Makelar.
8.    Kuasa Pendamping
Lembaga ini tumbuh karena kekhawatiran pemberi kuasa, maka dia perlu seorang ahli hukum yang mendampingi dalam proses persidangan. Jadi selama proses persidangan berlangsung pemberi kuasa tetap hadir dan didampingi seorang ahli guna dimintai pendapat yang diperlukan. Kuasa Pendamping diberikan secara lisan maupun tertulis dan pemberi kuasa memberitahukannya kepada Hakim.
Bentuk-bentuk kuasa bisa diberikan dan diterima dalam suatu akta umum, dalam suatu tulisan di bawah tangan, bahkan dalam sepucuk surat ataupun dengan lisan (Pasal 1793 ayat 1 KUHPerdata), dan sejumlah ketentuan Undang-Undang mewajibkan surat kuasa terikat pada bentuk tertentu, antara lain Pasal  1171 KUHPerdata yang menyatakan kuasa untuk memberikan hipotik harus dibuat dengan suatu akta otentik, kuasa Pasal 85 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang menyatakan bahwa kuasa yang mewakili pemegang saham ketika menghadiri RUPS harus didasarkan pada surat, Pasal 1683 KUHPerdata menyatakan penerima hibah dapat memberi kuasa kepada seseorang lain dengan suatu akta otentik untuk menerima penghibahan-penghibahan. Sehingga pada dasarnya, memberikan kuasa dapat dilakukan baik secara tertulis maupun secara lisan.
Pemberian kuasa secara tertulis pada umumnya merupakan syarat formal yang harus dipenuhi, akan tetapi dalam hal tertentu pemberian kuasa secara lisan dibenarkan. Contoh pemberian kuasa lisan dapat dilihat pada tingkat pemeriksaan perkara pidana di sidang pengadilan. Di hadapan sidang (setelah hakim ketua membuka sidang) terdakwa menyampaikan maksudnya dengan menunjuk seorang atau beberapa advokat/penasihat hukum yang sudah hadir dalam sidang. Kemudian ketua majelis menanyakan kepada advokat/penasihat hukum tentang kebenaran pernyataan terdakwa. Jika benar, para advokat/penasihat hukum baru dapat mengambil tempat di kursi yang telah disediakan, dan terdakwa boleh diminta sekali lagi untuk mengucapkan pemberian kuasa kepada advokat/penasihat hukum secara tegas dengan dibimbing oleh ketua majelis. Pemberian kuasa lisan wajib dicatat oleh panitera sidang dalam berita acara persidangan. Undang-undang tidak mewajibkan untuk menggunakan bantuan advokat/penasihat hukum tetapi juga tidak melarangnya[8], pengecualian dari hal tersebut diatas berlaku untuk perkara pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 56 KUHAP[9].
Pemberian kuasa lisan bisa juga terjadi dalam keadaan mendesak, dan selanjutnya surat kuasa akan dibuat dan diajukan pada sidang berikutnya. Jika hal itu terjadi, maka kuasa lisan tidak dapat dianggap berlaku hanya pada sidang yang lalu saja, kecuali apabila memang secara tegas pemberian kuasa lisan itu diucapkan hanya untuk kepentingan pada sidang hari itu. Jika hal itu tidak dilakukan, maka kuasa lisan itu harus dianggap telah berlaku untuk sidang hari itu dan sidang-sidang berikutnya, walaupun kemudian diberikan juga kuasa dengan surat.
B.        Surat Kuasa
Pemberian kuasa secara tertulis ini yang disebut sebagai surat kuasa. Surat kuasa digunakan dalam lapangan hukum perdata, hukum pidana, maupun hukum administrasi atau yang lazim disebut hukum tata usaha negara. Pemberian surat kuasa dapat dilakukan secara khusus atau secara umum, Secara khusus berarti kuasa yang diberikan hanya mengenai satu kepentingan tertentu atau lebih, sedangkan secara umum meliputi segala kepentingan atau segala perbuatan pemberi kuasa yang hanya meliputi perbuatan-perbuatan pengurusan/management (Pasal 1796 KUHPerdata).
Dalam menjalankan kewajiban-kewajiban yang telah ditentukan dalam surat kuasa, ada kalanya penerima kuasa berhalangan karena sesuatu sebab yang mendesak. Dalam surat kuasa dikenal juga adanya hak substitusi, yakni hak untuk mengalihkan sebagian maupun seluruhnya kuasa yang diberikan kepada si penerima kuasa kepada pihak ketiga. Surat kuasa substitusi dapat diterbitkan apabila dalam surat kuasa semula diberikan klausula tentang hal itu.
Pengalihan hak dari penerima kuasa semula pada pihak ketiga dapat dilakukan untuk seluruhnya atau sebagian saja, bergantung pada bunyi klausula pada surat kuasa tersebut. Jika isi klausula memberikan sebagian saja, maka harus ditegaskan dalam surat kuasa semula. Demikian juga apabila kewenangan itu dapat dilimpahkan seluruhnya, maka harus disebutkan pula dalam surat kuasa. Apabila telah terdapat pengalihan kuasa substitusi seluruhnya, maka si pemberi kuasa substitusi tidak dapat
menggunakan kembali kuasanya, kecuali pengalihan kuasa tersebut hanya sebagian.
Pada umumnya pemberian kuasa di pengadilan adalah secara khusus yang dipersyaratkan harus dalam bentuk tertulis. Dalam prakteknya, untuk mewakili kepentingan para pihak (Penggugat/Tergugat) di Pengadilan haruslah dengan surat kuasa khusus (Pasal 123 ayat 2 HIR/147 ayat 2 RBg). Penerima kuasa tidak diperbolehkan melakukan sesuatu apapun yang melampaui kuasanya.
Ada 3 (tiga) cara pemberian surat kuasa khusus menurut HIR/RBg, yaitu:
1)      Kuasa Khusus yang telah ditunjuk langsung disebutkan di dalam surat gugatan (Pasal 118 HIR dan Pasal 142 RBg).
2)      Kuasa khusus yang ditunjuk pada waktu mengajukan gugatan lisan (mondeling vordering) menurut Pasal 120 HIR. Menurut yurisprudensi, kuasa dari Penggugat tidak mempunyai hak untuk mengajukan gugatan.
3)      Kuasa Khusus yang dibuat tersendiri dengan “Surat Kuasa Khusus” antara pemberi kuasa dan penerima kuasa untuk mewakili dalam berperkara.

Menurut sifatnya, pemberian kuasa adalah sebagai berikut:
a.    Pemberian kuasa terjadi dengan cuma-cuma, kecuali jika diperjanjikan sebaliknya;
b.    Penerima kuasa tidak dibolehkan melakukan sesuatu apapun yang melampaui kuasanya;
c.     Pemberi kuasa dapat menggugat secara langsung orang dengan siapa Penerima kuasa telah bertindak dalam kedudukannya dan menuntut daripadanya pemenuhan persetujuannya.

Surat kuasa khusus ini diberikan kepada advokat/penasihat hukum untuk mewakili (dalam perkara perdata) atau mendampingi (dalam perkara pidana) pihak yang memberikan kuasa kepadanya dalam suatu perkara baik di dalam maupun di luar pengadilan. Surat kuasa khusus ini yang akan digunakan sebagai alat bukti di muka pengadilan, harus dibubuhi materai untuk memenuhi ketentuan UU No. 13 Tahun 1985 tentang Bea Materai dan PP No. 24 Tahun 2000 tentang Perubahan Bea Tarif Materai dan Besarnya Batas Pengenaan tentang Nominal yang Dikenakan Bea Meterai. Selain itu surat kuasa khusus ini harus memenuhi ketentuan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) RI No. 6 Tahun 1994 tentang Surat Kuasa Khusus, yang menyatakan:
1.    Surat kuasa harus bersifat khusus dan menurut Undang-Undang harus dicantumkan dengan jelas bahwa surat kuasa itu hanya dipergunakan untuk keperluan tertentu, misalnya:
a)    dalam perkara perdata harus dengan jelas disebut antara A sebagai Penggugat dan B sebagai Tergugat, misalnya dalam perkara waris atau hutang piutang tertentu dan sebagainya.
b)   dalam perkara pidana harus dengan jelas dan lengkap menyebut pasal-pasal KUHP yang didakwakan kepada terdakwa.
2.    Apabila dalam surat kuasa khusus disebutkan bahwa kuasa tersebut mencakup pula pemeriksaan pada tingkat banding dan kasasi maka surat kuasa khusus tersebut tetap sah berlaku hingga pemeriksaan pada tingkat kasasi tanpa diperlukan surat kuasa khusus yang baru. Akan tetapi bilamana surat kuasa khusus tersebut hanya mencakup pemeriksaan pada tingkat pertama, harus dibuatkan kembali surat kuasa khusus untuk pemeriksaan pada tingkat kasasi. Hal ini terlihat dalam salah satu putusan MA bernomor 51 K/Pdt/1991: yang mengajukan kasasi ialah Ansori berdasar surat kuasa tanggal 8 Maret 1990. Akan tetapi surat kuasa tersebut hanya dipergunakan dalam pemeriksaan tingkat pertama sedang menurut Pasal 44 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1985 untuk mengajukan kasasi dalam perkara perdata oleh seorang kuasa HARUS SECARA KHUSUS dikuasakan untuk melakukan pekerjaan itu”. Dalam UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang telah diubah dengan UU No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 14 Tahun 1985, Pasal 44 ayat (1) dinyatakan bahwa:

Permohonan kasasi sebagaimana dimaksud Pasal 43 dapat diajukan oleh:
a)    pihak yang berperkara atau wakilnya yang secara khusus dikuasakan untuk itu dalam perkara perdata atau perkara tata usaha Negara yang diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Tingkat Banding atau Tingkat Terakhir di Lingkungan Peradilan Umum, Lingkungan Peradilan Agama, dan Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara;
b)   terdakwa atau wakilnya yang secara khusus dikuasakan untuk itu atau Penuntut Umum atau Oditur dalam perkara pidana yang diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Tingkat Banding atau Tingkat Terakhir Lingkungan Peradilan Umum dan Lingkungan Peradilan Militer.

Surat kuasa khusus ini pada pokoknya harus memenuhi syarat formil sebagai berikut:
1)    Menyebutkan identitas para pihak yakni Pihak Pemberi Kuasa dan Pihak Penerima Kuasa yang harus disebutkan dengan jelas;
2)    Menyebutkan obyek masalah yang harus ditangani oleh penerima kuasa yang disebutkan secara jelas dan benar. Tidak disebutkannya atau terdapatnya kekeliruan penyebutan obyek gugatan menyebabkan surat kuasa khusus tersebut menjadi tidak sah. Hal ini terlihat dalam salah satu putusan MARI Nomor: 288 K/Pdt/1986 yang menyatakan: surat kuasa khusus yang tidak menyebut atau keliru menyebut objek gugatan menyebabkan surat kuasa Tidak Sah; dan
3)    Menyebutkan kompetensi absolut dan kompetensi relatif dimana surat kuasa khusus tersebut akan digunakan.

Tidak terpenuhinya syarat formil surat kuasa khusus tersebut, khususnya dalam perkara perdata dan tata usaha negara, dapat menyebabkan perkara tidak dapat diterima. Sehingga walaupun tidak ada bentuk tertentu surat kuasa yang dianggap terbaik dan sempurna, namun surat kuasa pada pokoknya terdiri dari:
a.    identitas pemberi kuasa;
b.    identitas penerima kuasa;
c.     hal yang dikuasakan, disebutkan secara khusus dan rinci, tidak boleh mempunyai arti ganda;
d.    waktu pemberian kuasa;
e.    tanda tangan pemberi dan penerima kuasa.

Untuk penggunaan surat kuasa dalam praktek hukum pidana, perlu juga dicantumkan tempat dan tanggal dibuatnya surat kuasa guna menghindari kerancuan waktu sejak kapan advokat/penasihat hukum dapat melakukan pembelaan atau pendampingannya. Pemberian kuasa ini secara tertulis juga dapat dilihat dalam tata pemerintahan, berupa pemberian kuasa seorang atasan kepada seorang bawahan, atau pelimpahan wewenang berupa delegasi atau mandat dari seseorang atau Pejabat tertentu kepada seseorang atau Pejabat lain. Selain penggunaan surat kuasa sebagai naskah administrasi, surat kuasa terdapat juga dalam kegiatan pemberian bantuan hukum perdata dan tata usaha negara. Bantuan hukum ini merupakan hak dalam menghadapi konflik dan permasalahan hukum kepada seseorang atau pejabat sepanjang permasalahan hukum tersebut timbul sebagai akibat pelaksanaan tugas kedinasan. Berbeda dengan format surat kuasa sebagai salah satu surat dinas, keberadaan surat kuasa dalam tata cara dan proses bantuan hukum dilakukan sesuai dengan format surat kuasa khusus yang umumnya digunakan di pengadilan.
Pemberian kuasa ini berakhir dengan (Pasal 1813 – 1819 KUH Perdata):
a)    Ditariknya kembali kuasa tersebut oleh pemberi kuasa;
b)   Dengan pemberitahuan pengunduran diri atas kuasanya oleh penerima kuasa;
c)    Dengan meninggal, pengampuan, pailitnya pemberi kuasa atau penerima kuasa;
d)   Dengan kawinnya perempuan yang memberi kuasa atau menerima kuasa. Setelah berlakunya Undang-undang Pokok Perkawinan maka ketentuan ini dinyatakan tidak berlaku lagi.
e)   Pengangkatan kuasa baru untuk mengurus hal yang sama, menyebabkan ditariknya kuasa pertama.

Dalam hal berakhirnya kuasa, hal ini didasarkan pada pemahaman bahwa penerima kuasa tidak hanya mempunyai kekuasaan mewakili tetapi juga memiliki hak mewakili, sehingga hak ini sifatnya dapat dicabut sewaktu-waktu. Akan tetapi saat ini, telah banyak beredar surat kuasa mutlak, yang melanggengkan surat kuasa walaupun si pemberi kuasa telah meninggal. Pemberian kuasa mutlak ini hadir dilatarbelakangi banyaknya pemberian kuasa yang dilakukan dalam rangka suatu perjanjian sehingga tanpa adanya kuasa tersebut kepentingan penerima kuasa akan sangat dirugikan.
Namun Instruksi Mendagri No. 14 Tahun 1982 tentang Larangan Penggunaan Kuasa Mutlak sebagai Pemindahan Hak atas Tanah yang sekarang telah dimuat dalam Pasal 39 huruf (d) PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, melarang adanya kuasa mutlak, karena kuasa mutlak pada hakikatnya merupakan pemindahan hak atas tanah. Akan tetapi, apakah kuasa mutlak tersebut diperbolehkan? Karena pemberian kuasa memiliki unsur sebagai suatu perjanjian, maka pemberian kuasa seperti halnya perjanjian menganut sistem terbuka atau asas kebebasan berkontrak sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 KUHPerdata, berarti pemberi maupun penerima kuasa berhak memperjanjikan apa saja asal tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum. Berkenaan dengan hal tersebut, Pasal 1814 KUHPerdata menyatakan bahwa:
Pemberi kuasa dapat menarik kembali kuasanya manakala itu dikehendakinya, dan jika ada alasan untuk itu, memaksa si kuasa untuk mengembalikan kuasa yang dipegangnya, yang berarti kuasa tetap dapat ditarik apabila ada alasan misalnya bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan atau ketertiban umum. Namun jika tidak, maka kuasa mutlak tetap diakui keberadaannya.

Jadi pemberian kuasa mutlak ini dibenarkan dengan syarat:
·      pemberian kuasa merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu perjanjian yang mempunyai alas hukum yang sah; dan
·      kuasa diberikan untuk kepentingan penerima kuasa.

Kewajiban Penerima Kuasa diatur dalam Pasal 1800-1806 KUHPerdata, sebagai berikut:
1.        Melaksanakan amanah kuasanya termasuk menanggung segala biaya, kerugian, serta segala bunga yang dapat timbul karena tidak dilaksanakannya kuasa tersebut;
2.        Menyelesaikan urusan yang telah mulai dikerjakannya pada waktu pemberi kuasa meninggal dunia;
3.        Bertanggung jawab tentang perbuatan-perbuatan yang dilakukan dengan sengaja;
4.        Bertanggung jawab tentang kelalaian-kelalaian yang dilakukan dalam menjalankan tugasnya;
5.        Memberi laporan tentang apa yang telah diperbuatnya;
6.        Memberi perhitungan kepada pemberi kuasa tentang segala apa yang telah diterimanya berdasarkan kuasa (termasuk apa yang diterimanya itu tidak seharusnya dibayar kepada pemberi kuasa);
7.        Bertanggung jawab untuk kuasa substitusinya:
a)    Jika ia tidak diberikan kekuasaan untuk menunjuk subtitusinya;
b)   Jika kekuasaan itu telah diberikan kepadanya tanpa penyebutan seorang tertentu, sedangkan orang yang dipilihnya itu ternyata seorang yang tidak cakap atau tidak mampu. Pemberi kuasa dapat secara langsung meminta orang yang ditunjuk oleh penerima kuasa sebagai penggantinya.
8.        Dalam hal penerima kuasa lebih dari satu orang, maka mereka tidak tanggung menanggung;
9.        Membayar bunga atau uang-uang pokok yang dipakainya guna keperluan sendiri;
10.     Tidak bertanggung jawab tentang apa yang terjadi di luar batas kuasa tersebut, kecuali apabila ia secara pribadi telah mengikatkan diri untuk itu.

Kewajiban Pemberi Kuasa diatur dalam Pasal 1807-1812 KUHPerdata, sebagai berikut:
1.       Memenuhi perikatan-perikatan yang diperbuat oleh penerima kuasa menurut kekuasaan yang telah diberikan padanya;
2.       Terikat dengan apa yang diperbuat oleh penerima kuasanya di luar hal-hal yang telah dikuasakan kepadanya, asal hal tersebut telah disetujui secara tegas atau secara diam-diam;
3.       Mengganti biaya-biaya/memberi ganti rugi atas apa yang telah dikeluarkan oleh penerima kuasa selama melaksanakan kepentingan pemberi kuasa;
4.       Membayar upah kuasa yang telah diperjanjikan;
5.       Dalam hal pemberian kuasa secara kolektif, maka masing-masing pemberi kuasa bertanggung jawab untuk seluruhnya terhadap penerima kuasa mengenai segala akibat dari pemberian kuasa tersebut;
6.       Penerima kuasa berhak menahan segala kepunyaan pemberi kuasa yang berada ditangan penerima kuasa sampai dibayar lunas segala hak-haknya (hak retensi).

Dalam praktek, tidak jarang kehadiran seorang penerima kuasa di Pengadilan ditolak karena pengisian surat kuasa belum sempurna atau salah. Untuk itu perlu diperhatikan pembuatan dan pengisian surat kuasa tersebut.
Pertama, yang harus diperhatikan adalah mengenai identitas pemberi kuasa dan penerima kuasa, yaitu: nama, umur atau tempat tanggal lahir, pekerjaan, alamat, dan lain-lain. Kalau pemberi kuasanya adalah suatu Badan Hukum, maka dalam surat kuasa harus disebutkan dulu nama badan hukumnya lalu identitas orang yang berwenang memberi kuasa menurut anggaran dasar/peraturan yang berlaku.
Kedua, menyangkut isi/materi surat kuasa itu sendiri harus secara jelas terperinci disebutkan untuk apa kuasa itu diberikan.
Ketiga, harus secara tegas diuraikan batas-batas kewenangan penerima kuasa untuk menjalankan kuasanya.
Keempat, ditandatangani oleh kedua belah pihak antara pemberi kuasa dan penerima kuasa yang harus dibubuhi materai. Dalam sengketa tata usaha negara, khusus untuk surat kuasa Badan/Pejabat tata usaha negara wajib pula dilengkapi dengan cap stempel instansi karena kapasitas pemberi kuasa dalam hal tersebut adalah bertindak untuk dan atas nama instansi atau jabatan yang melekat padanya.
Adakalanya surat kuasa khusus yang telah dibuat dan diserahkan kepada Pengadilan, ternyata ada kesalahan atau kekeliruan atau kekurangan mengenai pengisiannya. Untuk memperbaikinya, hanya Pemberi Kuasalah yang dapat melakukannya. Penerima Kuasa tidak berkuasa melakukannya.
C.        Surat Kuasa Perkara Tata Usaha Negara
Pada prinsipnya yang bersengketa di pengadilan tata usaha negara adalah para pihak itu sendiri, akan tetapi sesuai dengan ketentuan Pasal 57 UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara maka para pihak masing-masing dapat didampingi oleh seseorang atau beberapa orang kuasanya. Konsekuensi dari ketentuan diatas dapat dilakukan dengan surat kuasa khusus maupun secara lisan di persidangan. Pemberian kuasa secara lisan harus dilakukan dihadapan majelis hakim dalam persidangan oleh pemberi kuasa kepada penerima kuasa yang ditunjuk kemudian segera dicatatkan oleh panitera di dalam berita acara persidangan.
Surat kuasa yang dibuat diluar negeri bentuknya harus memenuhi persyaratan di negara yang bersangkutan dan diketahui oleh Perwakilan Republik Indonesia di negara tersebut, serta kemudian diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh penerjemah resmi.
Didalam praktek, sering kali juga ditemui bahwa Kuasa pejabat atau badan tata usaha negara dalam melakukan tugasnya bertindak untuk dan atas nama pemberi kuasa hanya didasari oleh suatu surat tugas saja. Walaupun surat tugas demikian tidak mengikuti format surat kuasa khusus sebagaimana yang lazim digunakan dalam persidangan, akan tetapi di dalamnya terkandung suatu pelimpahan wewenang untuk mewakili di dalam dan luar persidangan. Surat tugas tersebut dianggap tetap sah dan dapat diterima dalam persidangan, hanya saja penggunaannya cukup sekali pakai dalam persidangan saat itu juga. Untuk sidang selanjutnya dibutuhkan surat tugas yang baru. Hal ini tentunya tidak efisien, maka untuk itu disarankan kepada pemberi dan penerima kuasa untuk sebaiknya menggunakan format surat kuasa khusus.
Selain ketentuan diatas, ada ketentuan-ketentuan lain yang berkaitan dengan Kuasa di pengadilan tata usaha negara baik yang diatur dalam Undang-undang RI Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara maupun dalam SEMA RI dan JUKLAK MARI yang antara lain sebagai berikut:[10]
  1. SEMA RI Nomor 2/1991 tanggal 09 Juli 1991 angka V 9a, b, c sebagai berikut:
Angka V 9a:
Dalam hal suatu pihak didampingi oleh Kuasa, maka bentuk surat kuasa harus memenuhi persyaratan formal dari Surat Kuasa Khusus dengan materai secukupnya, dan Surat Kuasa Khusus yang diberi cap jempol haruslah dikuatkan (waarmerking) oleh pejabat yang berwenang.
Angka V 9b:
Surat Kuasa Khusus bagi Pengacara/Advokat tidak perlu dilegalisir.
Angka V 9c:
Dalam pemberian kuasa dibolehkan adanya substitusi tetapi dimungkinkan pula adanya kuasa insidental.
  1. JUKLAK MARI No. 051/Td. TUN/III/1992 tanggal 24 Maret 1992 angka I. 2.
a.    Surat kuasa dapat digunakan untuk beberapa orang pemberi kuasa asal saja materi/objek gugatan sama.
b.    Apabila di dalam 1 (satu) surat gugatan disebutkan beberapa kuasa sebagai yang mengajukan/membuat gugatan, maka semua kuasa yang disebutkan dalam surat gugatan tersebut harus turut serta menandatangani surat gugatan itu.
c.     Pemegang surat kuasa harus seorang advokat atau seseorang yang mendapat izin praktek.
  1. SEMA RI No. 6/1994 tentang Kuasa Khusus.
Surat tersebut harus bersifat khusus dan harus mencantumkan dengan jelas bahwa surat kuasa tersebut hanya dipergunakan untuk keperluan tertentu.
a.     Perkara nomor berapa dengan pihak-pihaknya yang lengkap dan jelas, tentang objeknya yang jelas.
b.    Boleh dalam kuasa tersebut mencantumkan untuk sampai pada tingkat banding dan kasasi.

Disamping itu juga diatur dalam Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Tata Usaha Negara:[11]
1.       Surat Kuasa Khusus harus memuat secara jelas dan rinci mengenai hal-hal yang dikuasakan dengan menyebutkan pihak-pihak yang berperkara, Keputusan TUN Objek sengketa dan tahapan-tahapan tingkat pemeriksaannya. Khusus bagi Tergugat harus menyebutkan nomor perkaranya (Pasal 57 UU RI No. 5 Tahun 1986 tentang Peratun, Pasal 1792 KUH Perdata, SEMA No. 2 Tahun 1991, SEMA No. 6 Tahun 1994);
2.       Surat Kuasa Khusus dapat dibuat sekaligus untuk pemeriksaan tingkat pertama, banding, kasasi, PK asalkan hal-hal yang dikuasakan itu diuraikan secara jelas dan rinci;
3.       Tergugat (Badan/Pejabat TUN) dapat memberi:
a.    Surat Kuasa kepada Advokat;
b.    Surat Kuasa tanpa materai kepada pejabat pada instansi pemerintahan Badan/Pejabat TUN yang bersangkutan.
4.       Kuasa Insidentil dapat diberikan izin oleh Ketua Pengadilan TUN kepada seseorang yang akan beracara di Pengadilan TUN apabila dimohonkan, dengan syarat seseorang tersebut mempunyai hubungan keluarga dengan Penggugat yang dikuatkan oleh surat keterangan lurah dan diketahui oleh camat, serta mampu beracara dipengadilan;
5.       Jaksa sebagai Pengacara Negara dapat bertindak sebagai kuasa hukum dari Badan/Pejabat TUN hanya dalam rangka menyelamatkan kekayaan Negara dan menegakkan kewibawaan pemerintah (Pasal 27 ayat 2 UU RI No. 5 Tahun 1986 tentang Peratun dan Pasal 24 Keppres RI No. 55 Tahun 1991);
6.       Biro Bantuan Hukum (BBH) atau Lembaga Bantuan Hukum (LBH) dan Fakultas Hukum yang memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan dapat bertindak sebagai kuasa Penggugat dalam perkara prodeo;
7.       Surat Kuasa harus ditandatangani oleh Pemberi Kuasa sebagai bukti formal adanya persetujuan kedua belah pihak dengan dibubuhi materai dan tanggal;
8.       Berakhirnya pemberian surat kuasa dapat terjadi karena:
a.    Dicabut oleh Pemberi Kuasa;
b.    Meninggalnya salah satu pihak;
c.     Penerima Kuasa melepaskan kuasa atas kemauannya sendiri (Pasal 1813 KUH Perdata);
d.    Pemberi Kuasa memberi kuasa kepada pihak lain dalam perkara yang sama maka dengan sendirinya pemberian surat kuasa pertama berakhir, kecuali ada klausul dalam surat kuasa yang baru bahwa kuasa yang lama tetap berlaku.

Terlepas dari segala ketentuan-ketentuan yang telah disebutkan diatas, apabila dipandang perlu hakim berwenang memerintahkan kedua belah pihak yang bersengketa datang menghadap sendiri ke persidangan, sekalipun sudah diwakili oleh seseorang kuasa sebagaimana diatur dalam Pasal 58 UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.  []

Sekian § terimakasih


[1] Hakim Pratama Muda sekaligus Humas Pengadilan Tata Usaha Negara Palu
[2] Sie Infokum – Ditama Binbangkum diunduh melalui http://www.jdih.bpk.go.id/informasihukum
[3] Rachmad Setiawan: Hukum Perwakilan dan Kuasa, penerbit PT. Tatanusa, 2005, Jakarta, hal. 111
[4] Ibid, hal. 117
[5] Ibid, hal. 20
[6] An instrument authorizing a person to act as the agent or attorney of the person granting it. Henry Campbell Black: Black’s Law Dictionary (second edition), West Publishing Co., 1910, St. Paul Minnesota, page 923
[7]Diunduh dari  www.hukumonline.com pada tanggal 09 Mei 2008.
[8] Sudikno Mertokusumo: Hukum Acara Perdata Indonesia, penerbit Liberty, 1993, Yogyakarta, hal. 16
[9] Bagi tersangka/terdakwa yang disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan hukuman pidana mati, pidana penjara 15 tahun atau lebih, dan bagi mereka yang tidak mampu, yang diancam dengan pidana 5 tahun atau lebih, dan tidak mempunyai penasihat hukum sendiri, maka pejabat yang bersangkutan, yaitu penyidik wajib menunjuk penasihat hukum baginya. Penasihat yang ditunjuk oleh penyidik atau hakim memberikan bantuannya dengan Cuma-cuma.
[10] Soemaryono & Anna Erliyana: Tuntunan Praktik Beracara di Peradilan Tata Usaha Negara, penerbit PT. Primamedia Pustaka, 1999, Jakarta, hal. 23
[11] Mahkamah Agung RI: Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Tata Usaha Negara-Buku II, 2009, Jakarta, hal. 45-46