Sabtu, 28 Agustus 2010

"Hak Uji"


“Hak Uji”
Oleh: Andi Muh. Ali Rahman, SH.,MH.[1]

A.       Pengertian
S
ejak terbentuknya Mahkamah Konstitusi pada tahun 2003, maka muncullah istilah yang sangat populer hingga kini yaitu Judicial Review. Upaya hukum yang akan dilakukan oleh masyarakat apabila merasa dirugikan akibat suatu ketentuan perundang-undangan adalah disebutkan sebagai Judicial Review. Padahal selain itu ada pula sebuah istilah lain yang kurang begitu familiar di telinga masyarakat Indonesia tetapi memiliki makna yang serupa yaitu Toetsingsrecht.

Sering kita salah kaprah memahami istilah Judicial Review dan Toetsingsrecht, kedua istilah tersebut mengadung arti yang sama dalam bahasa Indonesia yaitu Pengujian Ulang atau kemudian lebih dikenal dengan istilah Hak Uji.[2] Perbedaannya ialah istilah Judicial Review digunakan oleh negara-negara yang menganut sistem hukum common law, sedangkan istilah Toetsingsrecht digunakan oleh negara-negara yang menganut sistem civil law. Di Indonesia apa yang dikenal sebagai Hak Uji sering diartikan sebagai Judicial Review padahal yang lebih tepat adalah sebagai Toetsingsrecht.[3]

Baik dalam kepustakaan maupun dalam praktek dikenal ada dua macam hak uji (toetsingsrecht):
a.    Hak Uji Formal yaitu wewenang untuk menilai suatu produk legislatif seperti undang-undang, misalnya terjelma melalui cara-cara (procedure) sebagaimana telah ditentukan/diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku atau tidak. Pengujian formal biasanya terkait dengan soal-soal prosedural dan berkenaan dengan legalitas kompetensi institusi yang membuatnya.
b.    Hak Uji Materil yaitu suatu hak atau wewenang yang dimiliki oleh lembaga yudikatif untuk menyelidiki dan menilai isi apakah suatu peraturan perundang-undangan sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan tertentu (verordenendemacht) berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu.

Secara singkat menurut Prof. Harun Alrasid, dapat diartikan bahwa Hak Uji Formal adalah mengenai prosedur pembuatan Undang-undang, dan Hak Uji Materil adalah menyangkut kewenangan pembuat Undang-undang dan apakah isinya tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.[4]

Hak Uji Materil dapat digolongkan menjadi dua macam:
1.    Hak Uji Materil atas Undang-undang terhadap Undang-undang Dasar, menjadi wewenang Mahkamah Konstitusi (vide Pasal 24-C ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 Amandemen ke-3 juncto Pasal 10 ayat (1) huruf (a) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi);
2.    Hak Uji Materil atas peraturan perundang-undangan dibawah Undang-undang (seperti: PP, Keppres, Perda, dsb.) terhadap Undang-undang atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, menjadi wewenang Mahkamah Agung (vide Pasal 24-A ayat (1) juncto Pasal 31 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung juncto Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1993 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1999, dan terakhir dengan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2004).

B.        Subjek dan Objek Permohonan Hak Uji Materil
~        Pemohon Hak Uji Materil adalah kelompok masyarakat atau perorangan.
~        Termohon Hak Uji Materil adalah Badan/Pejabat Tata Usaha Negara yang menerbitkan peraturan perundang-undangan yang dimohonkan hak uji materil.
~        Objek Hak Uji Materil adalah peraturan perundang-undangan yang mengikat umum (bukan ditujukan atau bersifat individual)[5].

C.        Prosedur Permohonan Hak Uji Materil
~        Untuk permohonan hak uji materil yang ditujukan kepada Mahkamah Konstitusi, diajukan langsung ke Mahkamah Konstitusi.
~        Untuk permohonan hak uji materil yang ditujukan kepada Mahkamah Agung:
a.    Dapat diajukan langsung kepada Mahkamah Agung;
b.    Dapat diajukan melalui Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tata Usaha Negara diwilayah hukum kedudukan Pemohon, untuk selanjutnya akan diteruskan kepada Mahkamah Agung;
c.    Jika terkait dengan kasus tata usaha negara, maka melalui gugatan tata usaha negara biasa.

D.       Alasan Permohonan Hak Uji Materil
~     Materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian peraturan perundang-undangan dianggap bertentangan dengan peraturan perundang-undang yang lebih tinggi;
~     Pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku.

E.         Putusan Hak Uji Materil oleh Mahkamah Agung dan Pelaksanaannya
~     Jika permohonan hak uji materil dikabulkan, maka peraturan perundang-undangan yang bersangkutan dinyatakan tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan mengikat untuk umum, serta diperintahkan kepada instansi yang bersangkutan untuk segera mencabutnya.
~     Pemberitahuan isi putusan serta salinan putusan Mahkamah Agung dikirimkan dengan surat tercatat kepada para pihak, atau dalam hal permohonan diajukan Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tata Usaha Negara, maka penyerahan atau pengiriman salinan putusan dilakukan melalui Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tata Usaha Negara yang bersangkutan.
~     Dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak putusan diucapkan, petikan putusan hak uji materil dimuat/dicantumkan dalam Berita Negara dan dipublikasikan atas biaya negara.
~     Dalam jangka waktu 90 (sebilan puluh) hari setelah putusan Mahkamah Agung dikirimkan kepada Badan/Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan peraturan perundang-undangan tersebut ternyata tidak dilaksanakan, maka peraturan perundang-undangan yang bersangkutan demi hukum tidak mempunyai kekuatan hukum lagi.
~     Terhadap putusan hak uji materil tidak dapat diajukan upaya hukum Peninjauan Kembali (PK). []

Sekian & Semoga bermanfaat!


[1].     Hakim dan Humas pada Pengadilan Tata Usaha Negara Palu.
[2].     Penulis sendiri kurang sepakat dengan penggunaan istilah Hak Uji diatas tetapi demi menjaga orisinalitas teori yang telah disepakati oleh orang banyak maka dalam tulisan ini tetap digunakan istilah tersebut. Menurut hemat penulis, istilah Hak Uji oleh lembaga peradilan adalah kurang tepat mengingat bahwa semua lembaga peradilan atau penyelenggara kekuasaan kehakiman pada asasnya tidak boleh menolak suatu sengketa yang diajukan kepadanya sebagaimana diatur dalam Pasal 16 ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Makna istilah “hak” dalam kata Hak Uji dapat diartikan sebagai antonym dari kata “kewajiban”. Seharusnya yang tepat adalah menggunakan istilah “Kewenangan Uji” sehingga istilah tersebut menjadi sinkron dengan ketentuan dalam Pasal 11 ayat (2) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman juncto Pasal 10 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
[3].     Kekeliruan tersebut sama seringnya terjadi dalam mengalihbahasakan akar negara hukum Indonesia sebagai Rule of Law dan bukan Rechtstaat. Padahal Rule of Law adalah konsep Negara Hukum buatan sistem hukum common law sedangkan negara Indonesia menganut sistem hukum civil law atau eropa kontinental.
[4].    Fatwawati: Hak Menguji (Toetsingsrecht) Yang Dimiliki Hakim Dalam Sistem Hukum Indonesia, penerbit PT. RajaGrafindo Perkasa, 2006, Jakarta, hal. 94.
[5].    Tindakan Badan/Pejabat Tata Usaha Negara dalam hal ini adalah membuat peraturan (regeling). Berbeda dengan objek sengketa tata usaha negara sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka (9) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, tindakan Badan/Pejabat Tata Usaha Negara tersebut adalah membuat keputusan (beschikking) yang hanya ditujukan kepada orang/badan perdata tertentu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar