Hukum Administrasi Negara dan Peradilan Tata Usaha Negara


HUKUM ADMINISTRASI NEGARA
dan
PERADILAN TATA USAHA NEGARA
Oleh: Andi Muh. Ali Rahman, SH., MH.[1]


PENDAHULUAN
I
lmu Hukum Administrasi Negara berkaitan dengan sejarah kemunculan negara hukum (Rechtstaat) khususnya Eropa Kontinental yang berbeda dengan konsep Rule of Law pada Anglo saxon. Pada umumnya Hukum Administrasi Negara merupakan bagian dari hukum publik, yakni hukum yang mengatur tindakan pemerintah dan mengatur hubungan antara pemerintah dengan warga negara atau hubungan organ pemerintah.
                Istilah ”pemerintah” digunakan dalam dua pengertian, Pertama dalam arti luas, adalah kegiatan negara dalam melaksanakan kekuasaan politik dan, Kedua dalam arti sempit, adalah meliputi kegiatan negara kecuali tugas pembuatan undang-undang dan peradilan[2]. Pemerintah dalam arti sempit (bestuur) mempunyai pengertian sama dengan administrasi. Istilah ”administrasi” dan ”pemerintah” sudah umum digunakan baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Di Amerika Serikat digunakan istilah the administrasion untuk pengertian keseluruhan pemerintahan, termasuk presiden.
Menurut Utrecht, dalam Hukum Administrasi Negara terkandung 2 (dua) aspek, yaitu:
1.       Aturan-aturan hukum yang mengatur dengan cara bagaimana alat-alat perlengkapan negara itu melakukan tugasnya, dan
2.       Aturan-aturan hukum yang mengatur hubungan hukum (rechtsbetreking) antara alat perlengkapan administrasi atau pemerintah dengan para warganegaranya.
Salah satu prinsip dalam Negara Hukum adalah Wetmatigheid Van Bestuur atau pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan atau dengan kata lain setiap tindakan hukum pemerintah, baik dalam menjalankan fungsi pengaturan maupun fungsi pelayanan, harus berdasarkan pada wewenang yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan yang diberlakukan.
Dengan dikeluarkannya Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1986 yang diubah dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara[3], maka selain harus memperhatikan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, pemerintah dalam melaksanakan tindakan hukum harus pula memperhatikan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB).
Apabila tindakan pemerintah yang diwujudkan dalam terbitnya suatu Keputusan Tata Usaha Negara atau sikap diamnya, oleh masyarakat dianggap telah melanggar ketentuan perundang-undangan diatas, maka pemerintah – oleh undang-undang tersebut selanjutnya disebut Badan atau Pejabat tata Usaha Negara – dapat menggugat secara tertulis ke Peradilan Tata Usaha Negara.
Tujuan dibentuknya peradilan tata usaha negara adalah sebagai pengendali yuridis terhadap tindakan-tindakan badan/pejabat tata usaha negara, baik secara preventif maupun secara represif. Secara preventif dimaksudkan adalah untuk mencegah terjadinya tindakan-tindakan badan/pejabat tata usaha negara yang melawan hukum dan merugikan masyarakat, sedangkan secara represif ditujukan terhadap tindakan-tindakan badan/pejabat tata usaha negara yang melawan hukum dan merugikan masyarakat harus dijatuhi sanksi. Selain itu tujuan peradilan tata usaha negara adalah juga untuk memberikan perlindungan hukum bagi badan/pejabat tata usaha negara itu sendiri apabila telah bertindak benar sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku.
Akan tetapi tidak semua tindakan pemerintah dapat menjadi kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara. Tindakan pemerintah yang tidak masuk kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara selanjutnya akan menjadi kompetensi Peradilan Umum. Sehubungan dengan itu mengundang pertanyaan apakah yang menjadi ukuran keabsahan suatu tindakan pemerintah jika dihubungkan dengan ketentuan Peradilan Tata Usaha Negara. Hal ini menjadi penting bagi perumusan dan isi suatu keputusan yang akan dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara sehingga keputusan atau tindakan Pejabat Tata Usaha Negara sah secara hukum. 

KEDUDUKAN, KEWENANGAN, dan TINDAKAN PEMERINTAH
Kedudukan Pemerintah
Pemerintah atau Administrasi negara mempunyai kedudukan sebagai wakil dari lembaga publik, dan sebagai wakil dari badan hukum privat.
Kewenangan Pemerintah
Sesuai asas legalitas bahwa pemerintah diatur oleh peraturan perundang-undangan dalam kewenangannya. Penerapan asas ini menunjang berlakunya kepastian hukum dan kesamaan perlakuan. Artinya asas legalitas dimaksudkan untuk memberikan jaminan kedudukan hukum warga negara  terhadap pemerintah.
                Sumber dan cara memperoleh wewenang pemerintah bersumber dari undang-undang dasar dan undang-undang. Secara teoretis kewenangan yang bersumber dari peraturan perundangan-undangan  tersebut di peroleh melalui 3 (tiga) cara yaitu Atribusi (Attributie), Delegasi (Delegatie), dan Mandat (Mandaat).
Atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat Undang-undang kepada organ pemerintah, Delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ pemerintah kepada organ pemerintah lainnya, dan Mandat adalah terjadi ketika organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya.
Tindakan Pemerintah
Tindakan pemerintah (Bestuurshandeling) yang dimaksud adalah setiap tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh alat perlengkapan dalam menjalankan pemerintahan (bestuurs organ) dalam menjalankan fungsi pemerintahan (bestuurs functie). Ada 2 (dua) bentuk  tindakan pemerintah yakni:
1.       Tindakan berdasarkan hukum (rechts handeling); dan
2.       Tindakan berdasarkan fakta atau kenyataan dan bukan berdasarkan pada hukum (feitelijke handeling).
Tindakan pemerintah berdasarkan hukum (rechts handeling) dapat dimaknai sebagai tindakan yang berdasarkan sifatnya dapat menimbulkan akibat hukum tertentu untuk menciptakan suatu hak dan kewajiban. Tindakan ini lahir sebagai konsekuensi logis dalam kedudukannya pemerintah sebagai subjek hukum, sehingga tindakan hukum yang dilakukan menimbulkan akibat hukum.
Tindakan pemerintah berdasarkan fakta atau kenyataan dan bukan berdasarkan pada hukum (feitelijke handeling) adalah tindakan yang tidak ada hubungan langsung dengan kewenangannya dan tidak menimbulkan akibat hukum.
Bahwa tindakan hukum administrasi adalah suatu pernyataan kehendak yang muncul dan organ administrasi dalam keadaan khusus dimaksudkan untuk menimbulkan akibat hukum dalam bidang hukum administrasi. Jadi dapat dikatakan tindakan hukum pemerintah apabila tindakan yang dimaksud dilakukan organ pemerintah (bestuurs orgaan) dan menimbulkan akibat hukum khususnya di bidang hukum administrasi.
Akibat hukum yang timbul tersebut dapat berupa penciptaan hubungan hukum yang baru maupun perubahan atau pengakhiran hubungan hukum yang ada. Dengan demikian tindakan hukum pemerintah di maksud memiliki unsur-unsur sebagai berikut:
a.       Tindakan tersebut dilakukan oleh aparatur pemerintah dalam kedudukannya sebagai penguasa, maupun sebagai alat perlengkapan pemerintahan (bestuurs organ);
b.       Tindakan dilaksanakan dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan;
c.        Tindakan yang dimaksudkan sebagai sarana untuk menimbulkan akibat hukum (recht gevolgen) di bidang hukum administrasi;
d.       Tindakan yang dilakukan dalam rangka pemeliharaan kepentingan umum;
e.       Tindakan dilakukan berdasarkan norma wewenang pemerintah;
f.         Tindakan tersebut berorientasi pada tujuan tertentu berdasarkan hukum; dan
g.       Tindakan Hukum Pemerintah dapat berbentuk tindakan berdasarkan hukum publik dan berdasarkan hukum privat.
                Tindakan hukum publik adalah tindakan-tindakan hukum yang dilakukan oleh penguasa dalam menjalankan fungsi pemerintahan. Tindakan hukum publik ini dilakukan berdasarkan kewenangan pemerintah yang bersifat hukum publik yang hanya dapat lahir dari kewenangan yang bersifat hukum publik pula. Sedangkan tindakan hukum privat adalah tindakan hukum yang didasarkan pada ketentuan hukum keperdataan.
Tindakan Badan atau Pejabat dapat dikategorikan menjadi 3 (tiga) bagian yakni:
a.       Tindakan membuat Keputusan (beschikking)
b.       Tindakan membuat Peraturan (regeling)
c.        Tindakan Materiil (materiele daad)
ad. 1.      Membuat Keputusan Tata Usaha Negara (Beschikking)
Pasal 1 angka (9) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 tentang perubahan kedua Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, merumuskan:
“Keputusan Tata Usaha Negara adalah penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara berdasarkan perundang-undangan yang berlaku yang bersifat konkrit, individual, dan tindakan yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.”
Perumusan ini mengandung arti bahwa suatu Keputusan Tata Usaha Negara, yang memenuhi unsur-unsur tersebutlah sebagai syarat formal (kumulatif) yang dapat dimohonkan penyelesaiannya di Peradilan Tata Usaha Negara.
                Yang dipersamakan dengan Keputusan Tata Usaha Negara yaitu Keputusan Tata Usaha Negara yang tidak ada wujudnya tetapi merupakan suatu sikap diam atau tidak mengeluarkan keputusan yang telah dimohonkan kepadanya sedangkan hal itu menjadi kewajibannya. Terhadap sikap Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tersebut dapat dijadikan objek gugatan di Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana dalam Pasal 3 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1986. Hal ini disebut Keputusan Fiktif Negatif.[4]
Dengan demikian kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara mempunyai ciri-ciri:
1.       Yang bersengketa adalah orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.
2.       Objek sengketa adalah Keputusan Tata Usaha Negara berupa penetapan tertulis, termasuk yang dipersamakan dengan Keputusan Tata Usaha Negara, yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.
3.       Keputusan yang dijadikan objek sengketa bersifat konkrit, individual, final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
4.       Bukan merupakan keputusan-keputusan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 dan 49 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
ad. 2.      Membuat Peraturan (Regeling)
Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum tidak termasuk Keputusan Tata Usaha Negara dalam arti beschikking, yang berarti terhadap perbuatan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan yang bersifat umum tidak dapat digugat di Peradilan Tata Usaha Negara. Misalnya Keputusan Menteri, Keputusan Walikota, dan lain-lain.
Berdasarkan Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyatakan bahwa peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh Lembaga Negara atau Pejabat berwenang dan mengikat secara umum.
Perlu dijelaskan bahwa dengan keluarnya Undang-undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2004 “Keputusan” tidak termasuk pada hierarkhi peraturan perundang-undangan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 7. Istilah keputusan diubah dengan sebutan ”Peraturan” misalnya Peraturan Menteri, Peraturan Gubernur, Peraturan Walikota, Peraturan Bupati dan lain-lain.
Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2004 menyebutkan bahwa jenis dan hirarki peraturan perundang-undangan sebagai berikut:
a.       Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945;
b.       Undang-undang/Peraturan Pemerintah pengganti Undang-undang;
c.        Peraturan Pemerintah;
d.       Peraturan Presiden; dan
e.       Peraturan Daerah.
Bahwa jenis peraturan perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Sesuai Pasal 56 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2004 dapat diketahui bahwa semua Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, Keputusan Gubernur, Keputusan Bupati/Walikota atau Keputusan pejabat lainnya, harus dibaca sebagai peraturan sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Berdasarkan Pasal 2 Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2006 tentang jenis dan bentuk produk hukum daerah menyebutkan jenis produk hukum daerah terdiri atas:
a.       Peraturan Daerah;
b.       Peraturan Kepala Daerah;
c.        Peraturan Bersama Kepala Daerah;
d.       Keputusan Kepala Daerah;
e.       Instruksi Kepala Daerah;
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum termasuk perundang-undangan tidak merupakan bagian dari perbuatan keputusan (beschikking) tetapi termasuk perbuatan tata usaha negara di bidang pembuatan peraturan (Reglement Daad van De Administratie).
ad. 3.      Tindakan Materiil (Materiele Daad)
                Tindakan materiil adalah tindakan nyata yang tidak melahirkan akibat hukum (Recht Gevolg) dari perbuatan pemerintah tersebut sedangkan tindakan hukum yaitu ada maksud untuk melahirkan akibat hukum. Bentuk-bentuk konkrit dari tindakan materiil dapat dicontohkan sebagai berikut:
a.     Perbuatan nyata Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dalam fungsi pelayanan. Dalam fungsi ini perbuatan nyata dilihat dari:
-          Fungsi pelayanan jasa misalnya pelayanan jasa pos dan telekomunikasi, pelayanan listrik dan penyediaan air minum, pelayanan jasa angkutan kereta api, pelayanan jasa angkutan laut (PELNI).
-          Fungsi pelayanan pemerintahan misalnya:
1.     Pengukuran tanah oleh Badan Pertanahan.
2.     Pihak Kelurahan mewajibkan bagi setiap warga yang membuat KTP untuk membuat pas photo (wajib photo).
b.     Fungsi Pembangunan misalnya pembangunan jembatan dan gedung pemerintah.
c.     Dalam rangka penegakan hukum misalnya tindakan pengosongan dan penyegelan.

PERADILAN TATA USAHA NEGARA
Alat Ukur Keabsahan Tindakan Pemerintah
Di dalam membuat suatu keputusan (beschikking) pemerintah harus memperhatikan ketentuan atau syarat-syarat tertentu apabila syarat tertentu dimaksud tidak dipenuhi berakibat keputusan yang dibuat tidak sah. Oleh karena itu tidak sahnya suatu keputusan yang dibuat pemerintah akan berakibat tidak sahnya tindakan pemerintah. Tidak sahnya tindakan pemerintah tersebut pada akhirnya akan berakibat keputusan yang dibuat batal demi hukum atau dapat dibatalkan.
Agar keputusan yang dibuat oleh pemerintah dapat berlaku sebagai keputusan yang sah, maka harus memenuhi 4 (empat) syarat antara lain:
a.       Keputusan harus dibuat oleh alat (organ) yang berkuasa membuatnya;
b.       Oleh karena keputusan merupakan suatu pernyataan kehendak (wilsverklaring) maka pembentukan kehendak tersebut tidak boleh memuat kekurangan yuridis;
c.        Keputusan tersebut diberi bentuk (vorm) yang ditetapkan dalam peraturan dasarnya dan pembuatnya juga harus memperhatikan cara-cara (prosedure) membuat ketetapan yang dimaksud, apabila cara yang dimaksud ditetapkan dengan tegas  dalam peraturan dasar tersebut; dan
d.       Isi dan tujuan keputusan harus sesuai dengan isi dan tujuan peraturan dasar.
                Cacat yuridis keputusan Tata Usaha Negara dan tindakan pemerintah menyangkut 3 (tiga) aspek utama yakni aspek Kewenangan, Prosedur; dan Substansi/Materi.
Tindakan pemerintahan dijalankan berdasarkan norma wewewang pemerintah baik diperoleh secara atribusi, delegasi, maupun mandat. Dengan demikian suatu tindakan pemerintah yang tidak didasarkan pada suatu peraturan perundang-undangan yang memberikan wewenang untuk bertindak adalah sebagai tindakan yang melanggar hukum. Oleh karena norma wewenang sebagai norma pemerintahan, maka untuk mengukur keabsahan tindakan pemerintah dapat menggunakan 2 (dua) alat ukur yaitu:
1.       Peraturan perundang-undangan, dan/atau
2.       Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB).
                Kedua  alat ukur yang dimaksud diatur dalam Pasal 53 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1986 yang diubah dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Pasal 53 Undang-undang dimaksud memuat alasan-alasan yang digunakan untuk menggugat pemerintah atas dikeluarkanya Keputusan Tata Usaha Negara yang merugikan pihak yang terkena Keputusan Tata Usaha Negara.
Secara lengkap bunyi Pasal 53 adalah sebagai berikut:
Ayat (1) Orang atau Badan Hukum yang merasa kepentingan dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada Pengadilan yang bewenang yang berisi tuntutan agar keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan yang dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau rehabilitasi.
Ayat (2) Alasan yang dapat digunakan dalam gugatan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) adalah:
a.       Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan/atau
b.       Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik. 
Ad.1   Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, Keputusan dimaksud dapat diuji dari;
a.       Aspek Kewenangan, yaitu meliputi hal berwenang, tidak berwenang atau melanggar kewenangan;
b.       Aspek Prosedural, yaitu apakah prosedur pengambilan keputusan Tata Usaha Negara yang diisyaratkan oleh peraturan perundang–undangan dalam pelaksanaan kewenangan tersebut telah ditempuh atau tidak; dan
c.        Aspek Substansi/Materi, yaitu meliputi pelaksanaan atau penggunaan kewenangan apakah secara materi/ substansi telah selesai dengan ketentuan–ketentuan hukum atau peraturan perundang–undangan yang berlaku.  
Ad.2   Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik. Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik dalam bentuk tertulis menurut penjelasan Pasal 3 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme yang meliputi;
a.       Asas Kepastian Hukum, yaitu asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan dan keadilan dalam setiap kebijakan Penyelenggara Negara;
b.       Asas Tertib Penyelenggara Negara, yaitu asas yang menjadi landasan keteraturan, keserasian dan keseimbangan dalam pengendalian Penyelenggara Negara;
c.        Asas Kepentingan Umum, yaitu asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara aspiratif, akomodatif, dan selektif;
d.       Asas Keterbukaan, yaitu asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dengan tetap penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia negara;
e.       Asas Proporsionalitas, yaitu asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak ddan kewajiban Penyelenggara Negara;
f.         Asas Profesionalitas, yaitu asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan
g.       Asas Akuntabilitas, yaitu asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan Penyelenggara Negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sedangkan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik dalam bentuk tidak tertulis dikenal sebagai berikut[5];
1.       Asas-asas formal yang berkaitan dengan pembentukan keputusan;
a.       asas kecermatan formal (zorgvuldige voorbereiding);
b.       asas kejujuran, keterbukaan, dan tidak memihak (fair play);
c.        asas larangan penyalahgunaan prosedur (verbod van detournement de procedure).
2.       Asas-asas formal yang berkaitan dengan rumusan keputusan;
a.       asas pertimbangan harus memadai;
b.       asas kepastian hukum formal.
3.       Asas-asas materil yang berkaitan dengan isi keputusan;
a.       asas kepastian hukum materil;
b.       asas kepercayaan atau asas harapan yang telah ditimbulkan;
c.        asas persamaan perlakuan/larangan diskriminasi;
d.       asas larangan penyalahgunaan wewenang (verbod van detournement de pouvoir);
e.       asas kecermatan materil;
f.         asas keseimbangan;
g.       asas larangan berbuat sewenang-wenang (abus de droit/willekeur).
Selain itu ada pula Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik dalam bentuk tidak tertulis yang semula dikembangkan oleh De’ Monchy, yaitu:[6]
1.       Asas Kepastian Hukum;
2.       Asas Keseimbangan;
3.       Asas Kesamaan Dalam Mengambil Keputusan;
4.       Asas Bertindak Cermat;
5.       Asas Motivasi Untuk Setiap Keputusan;
6.       Asas Jangan Menyalahgunakan Wewenang;
7.       Asas Permainan Jujur;
8.       Asas Larangan Bertindak Sewenang-wenang (Keadilan);
9.       Asas Pemenuhan Penghargaan Yang Ditimbulkan;
10.    Asas Meniadakan Akibat Dari Keputusan;
11.    Asas Perlindungan Cara Hidup Pribadi;
12.    Asas Kebijaksanaan;
13.    Asas Penyelenggara Kepentingan Umum; dan
14.    Beberapa asas yang dapat digali dalam kearifan lokal masing-masing daerah.
Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara
Apabila Keputusan Tata Usaha Negara menimbulkan sengketa antara seseorang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, maka dapat dilakukan diselesaikan dengan cara sebagai berikut:
1.       Upaya Administratif; dan
2.       Gugatan.
Ad. 1.     Upaya Administratif
                Upaya Administratif yang disebutkan dalam penjelasan Pasal 48 ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yaitu suatu prosedur yang dapat ditempuh oleh seseorang atau badan hukum perdata apabila tidak puas terhadap suatu Keputusan Tata Usaha Negara.
                Pasal 48 tersebut menentukan:
1.       Dalam hal suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara diberi wewenang oleh atau berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk menyelesaikan secara administratif sengketa Tata Usaha Negara tertentu, maka sengketa Tata Usaha negara tersebut harus diselesaikan melalui upaya administratif yang tersedia;
2.       Pengadilan baru berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud ayat (1), jika seluruh upaya administrasi yang bersengketa telah digunakan.
Bentuk upaya administratif yaitu:
a.       Keberatan;
b.       Banding Administratif; dan
c.        Keberatan dan Banding Administratif.
Tindak lanjut dari upaya administratif
                Jika seseorang atau badan hukum perdata masih belum puas terhadap keputusan upaya administratif yang telah diajukan:
a.       jika dalam peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara yang mengakibatkan terjadinya sengketa Tata Usaha Negara upaya administratif yang tersedia adalah keberatan, maka penyelesaian selanjutnya adalah dengan mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara;
b.       jika dalam peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara yang mengakibatkan terjadinya sengketa Tata Usaha Negara upaya administratif yang tersedia adalah banding administratif atau keberatan dan banding administratif, maka penyelesaian selanjutnya adalah dengan mengajukan gugatan ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara sebagai peradilan tingkat pertama.        
ad. 2.      Gugatan
                Disamping melalui upaya administratif seperti yang disebutkan diatas, penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara dapat juga dilakukan melalui gugatan. Gugatan tersebut dengan ketentuan tidak ada upaya administratif yang harus dilalui dalam peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara yang menjadi sengketa. Gugatan juga dapat dilakukan seseorang atau badan hukum perdata yang sudah melalui upaya administratif dan sudah mendapat Keputusan Tata Usaha Negara namun masih merasa dirugikan dengan dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara tersebut.
                Sesuai dengan Pasal 53 ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, menentukan orang atau badan hukum perdata yang kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada Pengadilan yang berwenang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau rehabilitasi. Dan dalam hal ini juga termasuk gugatan terhadap Keputusan Fiktif Negatif.
Syarat-syarat gugatan
                Pasal 56 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara menentukan:
Bahwa gugatan harus memuat, antara lain:
a.       Nama, kewarganegaraan, tempat tinggal, dan pekerjaan penggugat atau kuasanya;
b.       Nama jabatan dan tempat kedudukan Tergugat;
c.        Dasar gugatan (posita/fundamentum petendi) dan hal yang diminta (petitum/tuntutan) untuk diputuskan oleh Pengadilan;
d.       Apabila gugatan dibuat dan ditandatangani oleh seorang kuasa penggugat, maka gugatan harus disertai surat kuasa yang sah;
e.       Gugatan sedapat mungkin juga disertai Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan oleh penggugat.
Menyangkut tentang surat kuasa yang sah, walaupun pada prinsipnya yang bersengketa di pengadilan tata usaha negara adalah para pihak itu sendiri, akan tetapi sesuai dengan ketentuan Pasal 57 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, maka para pihak masing-masing pihak dapat didampingi oleh seseorang atau beberapa orang kuasanya.[7]
Tenggang Waktu Gugatan
                Bahwa Pasal 55 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara menentukan bahwa gugatan hanya dapat diajukan dalam tenggang waktu 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak saat diterimanya atau diumumkannya Keputusan Badan/Pejabat Tata Usaha Negara yaang dimaksud.
Dalam hal yang hendak digugat itu merupakan keputusan, menurut ketentuan:
a.       Pasal 3 ayat (2), maka tenggang waktu 90 (sembilan puluh) hari dihitung setelah lewatnya tenggang waktu yang ditentukan dalam peraturan dasarnya, yang terhitung sejak tanggal diterimanya permohonan yang bersangkutan;
b.      Pasal 3 ayat (2), maka tenggang waktu 90 (sembilan puluh) hari dihitung setelah lewatnya batas waktu empat bulan yang dihitung sejak tanggal diterimanya permohonan yang bersangkutan;
c.       Perhitungan hari yang dimaksud berdasarkan perhitungan hari kalender dan bukan hari kerja.
Jenis-jenis Putusan
                Dari ketentuan Pasal 97 ayat (7) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dapat diketahui Putusan Pengadilan dapat berupa:
a.       gugatan ditolak;
b.      gugatan dikabulkan;
c.       gugatan tidak diterima;
d.      gugatan gugur.
Perdamaian
                Dalam penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara di Peradilan Tata Usaha Negara tidak dikenal perdamaian seperti halnya dalam perkara perdata di Peradilan Umum. Namun jika antara para pihak dalam sengketa Tata Usaha Negara diluar pemeriksaan sidang Pengadilan terjadi perdamaian, maka:
a.       Penggugat wajib mencabut gugatannya secara resmi dalam sidang terbuka untuk umum dengan menyebutkan alasan pencabutannya;
b.       Apabila pencabutan gugatan dimaksud dikabulkan, maka Hakim memerintahkan agar Panitera mencoret gugatan tersebut dari register perkara;
c.        Perintah pencoretan tersebut diucapkan dalam persidangan yang terbuka untuk umum.
                Namun apabila dalam pencabutan gugatan oleh Penggugat ini terdapat unsur paksaan, kekeliruan atau tipuan yang dilakukan oleh Tergugat, maka dengan sendirinya Pengadilan tidak akan mengabulkan pencabutan gugatan yang akan dilakukan oleh Penggugat.

KESIMPULAN
                Setiap Keputusan Tata Usaha Negara rentan menimbulkan sengketa antara Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dengan orang atau badan hukum perdata. Agar sengketa Tata Usaha Negara tersebut dapat diselesaikan dengan baik, tentunya diperlukan pemahaman yang utuh dan menyeluruh tentang Peradilan Tata Usaha Negara termasuk bagaimana menjalankan proses beracara pada Pengadilan Tata Usaha Negara.
                Objek sengketa yang dapat digugat di Peradilan Tata Usaha Negara dalam Pasal 1 angka (9) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 tentang perubahan kedua Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yaitu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara berdasarkan perundang-undangan yang berlaku yang bersifat konkrit, individual, dan final disertai tindakan yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Berdasarkan Pasal 3 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara tentang sikap diam Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yaitu tidak mengeluarkan keputusan yang telah dimohonkan sedangkan hal itu telah menjadi kewajibannya, maka sikap Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tersebut disamakan dengan suatu keputusan Tata Usaha Negara sehingga dapat digugat di Peradilan Tata Usaha Negara.
                Setiap Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dalam melakukan tindakan hukum diwajibkan bersuaian dengan kewenangannya dan bertindak didasarkan pada suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku serta Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik. []


[1].     Hakim Pratama Muda sekaligus Humas Pengadilan Tata Usaha Negara Palu.
[2].     Bagian dari sistem pemerintahan ciptaan Montesquieu yang dituangkan dalam bukunya “L’esprit des lois” (jiwa hukum), yakni legislatif, eksekutif, dan yudikatif atau biasa disebut Trias Politica.
[3].     Untuk selanjutnya diubah lagi dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata usaha Negara
[4].     Pengecualian terhadap ketentuan Pasal 1 angka (9) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 tentang perubahan kedua Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara juncto Pasal 3 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1986 diatas dapat dilihat pada Pasal 2 dan 49 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
[5].     H.D. Van Wijk & Willem Konijnenbelt dalam bukunya Hoofdstukken van Administratief Recht yang disadur dari Irfan Fachruddin: Pengawasan Peradilan Administrasi Terhadap Tindakan Pemerintah, penerbit PT. Alumni, 2004, Bandung, hal. 272-273.
[6].     H. A. Muin Fahmal: Peran Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Layak Dalam Mewujudkan Pemerintahan Yang Bersih, penerbit Kreasi Total Media, 2008, Yogyakarta, hal. 290.
[7].     Dapat dibaca tulisan oleh Andi Muh. Ali Rahman: Pemahaman Tentang Surat Kuasa Dalam Beracara Di Peradilan Tata Usaha Negara, http/www.ptun-palu.go.id/artikel, hal. 13.