Senin, 30 Agustus 2010

"Quo Vadis Peradilan Administrasi Indonesia?"


Quo Vadis Peradilan Administrasi Indonesia?
Oleh: Andi Muh. Ali Rahman, SH.,MH.

M
enyongsong lahirnya undang-undang Administrasi Pemerintahan, yang saat ini masih dalam tahap rancangan yang disempurnakan dan rencananya akan diundangkan pada akhir tahun ini pula, diharapkan akan menjadi angin segar bagi peradilan administrasi Indonesia. Undang-undang ini nantinya oleh banyak kalangan terutama praktisi hukum pemerintahan diharapkan akan menjadi pelengkap atas Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yaitu sebagai aturan tambahan baik dari segi materil maupun formil. Banyak permasalahan hukum yang mengemuka dalam setiap Rakernas yang dilaksanakan oleh Mahkamah Agung. Sejumlah pengadilan mengajukan pertanyaan yang selama ini menjadi belum jelas penerapannya atau masih menjadi teka-teki bagi para hakimnya. Salah satunya adalah mengenai pelaksanaan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap (eksekusi).

Adapun yang selama ini menjadi panduan apabila terdapat perbedaan penafsiran di kalangan hakim-hakim atau terjadi kendala dalam praktik di lapangan adalah Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Tata Usaha Negara buku II yang diterbitkan oleh Mahkamah Agung.

Secara teknis, pedoman tersebut sebenarnya telah mengatur pelaksanaan eksekusi dengan cermat tetapi yang masih sering menjadi permasalahan didalam praktik adalah bagaimana pengejawantahan dari aturan itu sendiri. Di dalam kandungan aturan tentang eksekusi, walapun telah ditetapkan beberapa sanksi apabila pejabat/badan tata usaha negara menolak melaksanakan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, masih dirasakan oleh pencari keadilan belum sepenuhnya mengakomodir nilai-nilai keadilan masyarakat dikarenakan sanksi yang ada hanya bersifat administratif saja sehingga tidak memberi efek represif kepada pejabat/badan tata usaha negara yang seharusnya menjalankan putusan tersebut. Padahal konsep peradilan administrasi itu sendiri adalah sebagai lembaga kontrol yuridis dari pemerintah. Lembaga yang bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum secara efektif terhadap warga negara oleh akibat penyelenggaraan pemerintahan yang merugikan warga negara tersebut. Apalah artinya suatu lembaga kontrol terhadap tindakan pemerintah apabila dalam tindak pelaksanaannya tidak memiliki daya paksa atas suatu ketidakpatuhan pemerintah.

Sebagai perbandingan dalam perkara perdata, dikenal pada dasarnya ada dua bentuk eksekusi ditinjau dari segi sasarannya yang hendak dicapai yaitu eksekusi riil dan eksekusi untuk melakukan pembayaran sejumlah uang. Khusus terhadap eksekusi riil, terdiri atas beberapa perintah antara lain menyerahkan suatu barang, mengosongkan sebidang tanah atau rumah, melakukan suatu perbuatan tertentu, dan menghentikan suatu perbuatan atau keadaan. Sebelum eksekusi riil dilaksanakan ada tahapan yang wajib dilalui yaitu pertama-tama adalah pemanggilan dan kemudian peringatan atau teguran (aanmaning) oleh Ketua Pengadilan kepada pihak termohon. Apabila terhadap peringatan tersebut pihak termohon masih enggan melaksanakan putusan, maka dikeluarkan surat penetapan oleh Ketua Pengadilan yang berisi perintah paksa untuk menjalankan eksekusi yang ditujukan kepada panitera atau juru sita. Dalam kondisi tertentu apabila diperlukan, eksekusi dapat dilakukan dengan bantuan kekuatan umum yaitu pihak kepolisian atau militer.

Di dalam ketentuan undang-undang tentang peradilan tata usaha negara menyangkut pelaksanaan eksekusi diatur bahwa terhadap putusan yang mewajibkan pejabat/badan tata usaha negara mencabut keputusan pejabat/badan tata usaha negara, apabila setelah 60 (enam puluh) hari kerja putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap tidak dilaksanakan oleh pejabat/badan tata usaha negara, keputusan tata usaha negara yang disengketakan itu tidak mempunyai kekuatan hukum lagi. Ketentuan itu disebut sebagai eksekusi otomatis yaitu dengan batas waktu tertentu setelah putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap, keputusan pejabat/badan tata usaha negara yang menjadi objek sengketa akan dengan sendirinya secara yuridis tidak berlaku lagi. Pada praktiknya, ketentuan tersebut memang tidak membawa persoalan apa-apa bagi pencari keadilan tapi bagaimana jikalau putusan pengadilan tersebut disertai pula dengan perintah mewajibkan kepada pejabat/badan tata usaha negara untuk menerbitkan suatu keputusan tata usaha negara yang baru. Pada prinsipnya eksekusi sebenarnya tidak perlu ada apabila pejabat/badan tata usaha negara mau dengan sukarela melaksanakan isi putusan yang menjadi kewajibannya. Sedangkan suatu eksekusi tanpa daya paksa tentunya akan menjadi suatu tindakan yang sia-sia. Daya paksa yang terdapat dalam ketentuan yang ada saat ini, hanya berupa pembayaran uang paksa dan/atau sanksi administratif serta diumumkan pada media massa cetak setempat. Sepintas lalu sanksi tersebut kelihatannya telah cukup tegas tetapi dalam kenyataannya apabila dihadapkan dengan rasa kesadaran hukum dari aparat pemerintah yang masih kurang dan ditambah pula dengan beberapa permasalahan teknis lainnya, maka sanksi tersebut akan menjadi lemah. Apabila pejabat/badan tata usaha negara memiliki kesadaran hukum, maka tidak perlu ada eksekusi karena pastinya putusan peradilan tersebut akan dilaksanakan dengan sukarela. Permasalahan teknis yang akan muncul dalam sanksi tersebut antara lain adalah menyangkut siapa yang akan dibebani tanggungan pembayaran uang paksa, apakah secara diri pribadi pejabat tata usaha negara yang bersangkutan atau secara kedinasan dalam rangka menjalankan jabatannya. Ini juga tentunya tidak bisa terlepas begitu saja keterkaitannya dengan prinsip onrechmatige overheidsdaad atau konsep ganti rugi oleh penguasa yang sampai sekarangpun aturannya masih belum jelas. Kemudian menyangkut kepada siapa pembayaran uang paksa tersebut akan dibayarkan, apakah kepada pemohon eksekusi atau kepada pengadilan sebagai perwakilan dari negara. Apabila dibayarkan kepada pemohon eksekusi, maka kewajiban tersebut tidak ubahnya menjadi tuntutan ganti rugi yang konteksnya jelas-jelas berbeda dengan dwangsom. Apabila dibayarkan kepada pengadilan, maka akan terjadi “uang dari negara kembali untuk negara”. Selanjutnya permasalahan teknis lainnya adalah menyangkut siapa yang akan memberikan sanksi administratif kepada pejabat/badan tata usaha negara tersebut. Sanksi ini sangat terkait dengan jenjang atau hirarki kepemimpinan dari pejabat tata usaha negara yang bersangkutan. Apakah atasan dari pejabat tata usaha negara tersebut nantinya dapat bersikap objektif terhadap persoalan yang ada apabila persoalan ini berbenturan dengan nama baik institusi atasan pejabat tata usaha negara yang bersangkutan. Belum lagi ditambah persoalan apabila kewenangan pejabat/badan tata usaha negara tersebut diperoleh berdasarkan mandat atau delegasi. Selanjutnya permasalahan teknis lainnya adalah menyangkut siapa yang akan menanggung biaya penerbitan yang tidak murah apabila diumumkan pada media massa cetak setempat. Apakah oleh pemohon eksekusi sebagai pihak yang berkentingan. Apakah hal tersebut kemudian telah dapat menjamin bahwa setelah diumumkan pada media massa cetak setempat, pejabat/badan tata usaha negara yang bersangkutan akan segera melaksanakan isi putusan pengadilan yang dimaksud.

Berdasarkan uraian diatas, sangatlah jelas terlihat bahwa pelaksanaan eksekusi pada peradilan tata usaha negara memiliki daya paksa yang cukup lemah dibandingkan pada peradilan perdata. Hal ini bukan berarti bahwa pada peradilan perdata tidaklah terdapat kendala-kendala dalam pelaksanaannya. Setiap eksekusi tentunya memiliki karakteristik masing-masing dalam pelaksanaannya, hanya saja pada peradilan perdata kendala-kendala tersebut dapat menjadi lebih sederhana karena diimbangi oleh daya paksa yang lebih kuat.

Sudah menjadi asumsi umum bahwa banyak pejabat tata usaha negara yang tidak mematuhi putusan pengadilan sehingga tidaklah mengherankan dengan banyaknya permasalahan teknis yang kemudian muncul dalam pelaksanaan eksekusi putusan peradilan tata usaha negara, maka dikenallah istilah oleh masyarakat pencari keadilan bahwa pengadilan tata usaha negara ibarat seekor “macan ompong”. Diibaratkan seekor macan dikarenakan merupakan suatu institusi “gerbang terakhir keadilan” bagi justitiabelen dalam sengketa tata usaha negara, tetapi ompong dalam pelaksanaan putusannya atau tidak memiliki gigi yang cukup tajam dan kuat untuk menghukum para pejabat tata usaha negara yang telah melanggar aturan perundang-undangan serta AAUPB.

Sebagai contoh dalam pengalaman praktik penulis, masih adanya asumsi dari kalangan pejabat tata usaha negara di daerah yang menganggap bahwa putusan-putusan pengadilan tata usaha negara tidak lebih hanya sekadar sebuah penetapan saja. Dikatakannya bahwa suatu penetapan tidak memiliki daya mengikat secara hukum, bisa dilaksanakan atau bisa juga tidak. Berbeda dengan putusan pengadilan negeri, mahkamah agung, atau mahkamah konstitusi yang putusannya memiliki daya mengikat secara hukum dan daya paksa eksekutorial yang apabila perlu dilaksanakan dengan bantuan aparat kepolisian. Sungguh sangat disayangkan dengan masih adanya pemikiran kerdil seperti ini. Kenyataan ini tentunya tidak terlepas dari adanya kemungkinan karena masih kurangnya pemahaman dan kesadaran hukum dari pejabat tata usaha negara yang bersangkutan, atau mungkin juga karena memang masih sangat lemahnya daya paksa eksekutorial dari peradilan administrasi Indonesia yang berujung pada terjadinya degradasi kewibawaan lembaga peradilan.

Oleh karenanya peran ketua pengadilan memiliki andil besar dalam mengawasi eksekusi putusan di wilayah hukumnya. Seorang ketua pengadilan tata usaha negara selain harus meminta penjelasan kepada pejabat tata usaha negara yang tidak atau enggan melaksanakan putusan termasuk menanyakan alasan-alasan dan hambatan yang dialami oleh pejabat tata usaha negara sebagai tergugat, juga harus bersikap tegas dalam mewujudkan pelaksanaan eksekusi putusan tersebut yang apabila perlu mengajukannya kepada presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintah tertinggi dan kepada lembaga perwakilan rakyat untuk menjalankan fungsi pengawasan.

Eksekusi sebenarnya sudah lama menjadi masalah di lingkungan peradilan tata usaha negara. Itu sebabnya, banyak orang berharap DPR maupun instansi terkait segera memberikan solusi ketika membahas RUU Administrasi Pemerintahan. Pada medio April 2010, RUU Administrasi Pemerintahan kembali dibahas dalam Sosialisasi Rancangan Undang-undang Administrasi Pemerintahan pada saat diadakannya Bimbingan Teknis Hakim Peradilan Tata Usaha Negara yang dilaksanakan oleh Ditjen Badilmiltun Mahkamah Agung RI di Hotel Horizon Makassar.

Berbeda dengan pembahasan sebelumnya, RUU saat ini hanya terfokus pada topik “Bantuan Kedinasan dan Syarat Syahnya Keputusan Tata Usaha Negara” dan “Penerapan Azas-azas Umum Pemerintahan Yang Baik dan Diskresi” sementara banyak hal-hal yang sebenarnya krusial pada pembahasan RUU Administrasi Pemerintahan yang terdahulu misalnya konsep ganti rugi perbuatan melawan hukum oleh pemerintah maupun penerapan eksekusi putusan pada akhirnya tidak lagi dipersoalkan saat ini. Mengapa bisa demikian?

Dalam pembahasan RUU Administrasi Pemerintahan terdahulu bertema Pembekalan Teknis Peradilan Dilingkungan Peratun Menyongsong Undang-undang Administrasi Pemerintahan yang dilaksanakan oleh Ditjen Badilmiltun Mahkamah Agung RI di Hotel Kaisar Jakarta pada awal januari 2009, disiapkan suatu ketentuan yang mengatur bahwa di peradilan tata usaha negara terdapat 2 (dua) jenis atau macam gugatan yaitu pembatalan suatu keputusan pejabat tata usaha negara atas dasar pelanggaran perundang-undangan yang berlaku dan pelanggaran asas-asas umum pemerintahan yang baik; dan gugatan ganti rugi material dan immaterial atas dasar tindakan badan atau pejabat pemerintahan yang menimbulkan kerugian materil maupun immateril menurut undang-undang. Konsep ini merupakan perluasan kewenangan/kompetensi yurisdiksi peradilan tata usaha negara karena selama ini bentuk ganti rugi oleh pemerintah (onrechmatige overheidsdaad) dalam ketentuan undang-undang peradilan tata usaha negara hanyalah merupakan tuntutan tambahan yang besarannya telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1991 tentang Ganti Rugi dan Tata Cara Pelaksanaannya pada Peradilan Tata Usaha Negara dan selanjutnya tuntutan ganti rugi selebihnya dapat digugat pada peradilan perdata, dirasakan masih kurang efisien dan efektif. Materi pembahasan ini disampaikan oleh Marianna Sutadi mantan Hakim Agung/Wakil Ketua Mahkamah Agung RI. Rancangan ketentuan ini menurut penulis sangat sejalan dengan asas peradilan di Indonesia yaitu cepat, sederhana, dan biaya ringan karena pihak yang menuntut kerugian tentunya tidak perlu lagi meneruskan sengketanya pada peradilan lain yang nantinya akan menambah lamanya proses penyelesaian dan biaya administrasi yang diperlukan.

Kemudian sekaitan dengan pelaksanaan eksekusi pada peradilan tata usaha negara, juga disiapkan aturan tentang uang paksa (dwangsom).  Aturan tentang uang paksa ini telah tertuang dan diatur dalam perubahan kedua undang-undang peradilan tata usaha negara yang berlaku saat ini, hanya saja aturan itu sampai kini masih menunggu aturan pelaksanaan lebih lanjut. Sebenarnya untuk dapat mengatasi masalah pelaksanaan eksekusi ini, kenapa tidak dibuatkan saja suatu aturan dalam perundang-undangan administrasi pemerintahan dengan mengadopsi berdasarkan analogi atau penafsiran pada ketentuan Pasal 4 ayat (3) dan (4) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yaitu segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang dan setiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan ini dipidana. Kesimpulannya, suatu bentuk penolakan terhadap pelaksanaan eksekusi dapat dikategorikan telah memenuhi unsur sebagai suatu bentuk “campur tangan” dalam urusan peradilan.

Harapan penulis dalam rancangan undang-undang administrasi pemerintahan ini, sebagai bahan rumusan dan pertimbangan daripada lembaga legislatif, adalah seyogyanya dibuatkan suatu ketentuan yang mengatur apabila pemerintah melanggar ketentuan perundang-undangan dan/atau asas-asas umum pemerintahan yang baik serta selanjutnya tidak mau melaksanakan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, maka pejabat/badan tata usaha negara yang bersangkutan dapat dikenakan sanksi perdata maupun pidana. Sanksi perdata kepada pejabat/badan tata usaha negara berupa ganti rugi materil maupun immateril apabila melanggar ketentuan perundang-undangan dan/atau asas-asas umum pemerintahan yang baik serta sanksi pidana apabila pejabat/badan tata usaha negara yang bersangkutan tidak mematuhi perintah putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Harapan ini bukannya bermaksud untuk mendiskreditkan lembaga pemerintahan tetapi semata-mata ketentuan sanksi ini ditujukan hanyalah kepada pejabat/badan tata usaha negara yang membandel dan tidak mau melaksanakan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap sehingga dapat terwujud tatanan good governance dan peradilan administrasi Indonesia yang berwibawa sebagaimana yang diharapkan bersama.

Akhirul salam, sebagai penutup, penulis menyampaikan kata tiada gading yang tak retak dan tiada kesempurnaan tanpa didahului oleh kesalahan. Kesempurnaan yang hakiki hanyalah milik Allah SWT. Semoga kekurangan-kekurangan yang terdapat dalam tulisan ini dapat diberi tambahan yang lebih baik oleh para pembaca yang budiman, sedangkan hikmah yang dapat dipetik bisa menjadi bahan masukan yang bernilai nantinya dalam perkembangan peradilan adminisnistrasi Indonesia untuk menjadi lebih baik lagi. Terima Kasih dan Wassalam!

Palu, 26 Agustus 2010.

Sabtu, 28 Agustus 2010

"Perlindungan Konsumen Dalam Transaksi E-Commerce Di Internet"

Perlindungan Konsumen dalam Transaksi E-Commerce di Internet[1]
Oleh: Andi Muh. Ali Rahman
BAB I

PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang Masalah
P
erkembangan teknologi komputer yang kian canggih memang telah memungkinkan para pemakai jasa komputer melalui internet dapat berkomunikasi atau berinteraksi satu sama lain secara global.
          Di Indonesia, statistik menunjukkan bahwa transaksi bisnis elektronik atau yang lebih dikenal dengan electronic commerce atau e-commerce kian meningkat bahkan dapat dikatakan sudah menjadi kebutuhan. Untuk sampai tahun 2000 saja, pengguna jasa internet service provider (ISP) diperkirakan tumbuh sampai 400 persen dengan jumlah 1,5 juta orang.[2] Prinsip-prinsip dasar dari aktivitas elektronik melalui internet adalah transparansi atau adanya keterbukaan dan kejelasan dalam setiap interaksi internet, kehandalan (betrouwbaarheid) dengan informasi yang dapat dipercaya, serta kebebasan para pelaku bisnis, konsumen ataupun pribadi yang dapat secara bebas mengakses atau bertransaksi tanpa adanya hambatan, kesulitan atau tekanan dalam bentuk apapun. Jadi teknologi komputer dan informasi telah memberikan kebebasan siber (cyberliberty) pada komunitas global. Kebebasan siber ini bisa di bidang niaga (commercial cyberliberty) maupun perdata (civil cyberliberty).
E-commerce kini sudah mencakup segala hal, yaitu  perdagangan, perbankan, pasar modal, asuransi, penerbangan, industri pariwisata, dan dengan cara yang lebih cepat, mudah, canggih, dan dapat dilakukan secara global tanpa batasan tempat dan waktu. Benar-benar suatu pasar di komputer.
          Dengan e-commerce, transaksi barang atau jasa kini lebih praktis karena tidak perlu lagi kertas dan pena, tidak perlu lagi kontak face-to-face dan menjadi murah karena bersaing bebas serta dapat dilakukan setiap saat.
Badan sensus Departemen Perdagangan Amerika menyebutkan bahwa total pendapatan dalam e-commerce mencapai $25,8 Milyar.[3] Fenomena tersebut dialami juga di Indonesia, meskipun bagi masyarakat Indonesia tingkat kebutuhan untuk melakukan transaksi e-commerce masih dapat dijadikan perdebatan.[4]   
          Tetapi transaksi perdagangan melalui sistem elektronik di internet ini selain menjanjikan sejumlah keuntungan, pada saat yang sama juga berpotensi terhadap sejumlah kerugian.[5]
Masalah-masalah hukum yang dapat muncul adalah kapan saat sebuah kontrak dianggap ditutup (tijdstip van sluiting van het contract), Bagaimana keabsahan serta legalitas dokumen dan catatan elektronik tanpa tanda tangan konvensional, Sejauhmana  pertanggungjawaban dari internet service provider (ISP) selaku perantara (aansprakelijkheid van tussen personnen), dan bagaimana perlindungan terhadap hak-hak konsumen sehubungan dengan transaksi elektronik ini, Seperti konsumen tidak dapat langsung mengidentifikasi atau menyentuh barang yang akan dipesan; ketidakjelasan informasi tentang produk yang ditawarkan dan/atau tidak ada kepastian apakah konsumen telah memperoleh berbagai informasi yang layak diketahui atau yang sepatutnya dibutuhkan untuk mengambil suatu keputusan dalam bertransaksi; tidak jelasnya status subjek hukum dari pelaku usaha; tidak ada jaminan keamanan bertransaksi dan privasi serta penjelasan terhadap risiko-risiko yang berkenaan dengan sistem yang digunakan khususnya dalam hal pembayaran secara elektronik baik dengan credit card maupun electronic cash; pembebanan risiko yang tidak berimbang karena pada umumnya terhadap jual beli di internet, pembayaran telah lunas dilakukan di muka oleh konsumen sedangkan barang belum tentu diterima atau akan menyusul kemudian karena jaminan yang ada adalah jaminan pengiriman barang bukan penerimaan barang; transaksi yang bersifat lintas batas atau tanpa batas (borderless) negara menimbulkan pertanyaan mengenai yurisdiksi hukum negara mana yang sepatutnya diberlakukan; dan lain-lain. Masalah hukum lain adalah tuntutan hukum sehubungan dengan adanya wanprestasi/cedera janji (misalnya barang yang diperjanjikan tidak sebagaimana yang dimaksudkan).
          Sayangnya, di Indonesia perkembangan teknologi komputer dan informasi serta perkembangan bisnis melalui internet atau e-commerce ini belum diikuti dengan pengaturan hukum yang memadai dalam bentuk perangkat perundang-undangan yang mengaturnya secara khusus.
Berdasarkan fenomena di atas dapat dilihat bahwa ketidak-seimbangan antara produk-produk hukum yang ada dengan kemajuan teknologi modern yang demikian pesat menyebabkan aktivitas di internet khususnya dalam e-commerce menjadi sangat rawan dengan permasalahan hukum. Untuk itu penulis mencoba untuk memecahkan persoalan-persoalan tersebut secara tuntas, dengan mengkaji per-masalahan tersebut, baik dalam tataran teoretis maupun praktis, melalui pendekatan hukum terhadap hukum dan perundang-undangan yang berlaku (existing laws) khususnya KUHPerdata Indonesia dan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

B.   Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut diatas, maka penulis merumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:
1.     Bagaimana peranan hukum perjanjian Indonesia serta legalitas pembuktian dalam transaksi e-commerce di Internet?
2.     Bagaimana perlindungan konsumen Indonesia dalam transaksi e-commerce di Internet?
3.     Bagaimana penyelesaian sengketa antara konsumen Indonesia dan pelaku usaha terhadap transaksi e-commerce di Internet?

C.   Tujuan Penelitian
1.     Untuk mengetahui peranan hukum perjanjian Indonesia serta legalitas pembuktian dalam transaksi e-commerce di Internet.
2.     Untuk mengetahui upaya-upaya hukum perlindungan konsumen Indonesia dalam transaksi e-commerce di Internet.
3.     Untuk mengetahui penyelesaian sengketa antara konsumen Indonesia dan pelaku usaha terhadap transaksi e-commerce di Internet.

D.   Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini dibagi menjadi dua, yaitu:
a)      Teoretis/Akademis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pemikiran hukum dan perkembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang e-commerce law sekaligus diharapkan dapat menjadi referensi tambahan bagi segenap pembaca yang tertarik untuk meneliti permasalahan ini lebih lanjut.
b)     Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan masukan bagi masyarakat konsumen, pemerintah, serta pihak-pihak lain di Indonesia untuk meningkatkan perlindungan hukum dalam transaksi e-commerce di Internet.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.   Pengertian Umum
Internet adalah sebuah alat penyebaran informasi secara global, sebuah mekanisme penyebaran informasi dan sebuah media untuk berkolaborasi dan berinteraksi antar individu dengan menggunakan komputer tanpa terhalang batas geografis.[6]
Selain itu, Internet adalah jaringan dari sekumpulan jaringan (networks of networks) yang terdiri dari jutaan komputer yang dapat berkomunikasi satu sama lain dengan menggunakan suatu aturan komunikasi jaringan komputer (protocol) yang sama. Protokol yang digunakan tersebut adalah Transmission Control Protocol/Internet Protocol (TCP/IP).[7] Protocol ini biasanya difasilitasi oleh penyedia jasa internet.
          Secara umum semua penyedia jasa internet disebut Internet Service Provider (ISP). Tapi sebenarnya ISP terbagi atas tiga:[8]
1.     Connection Provider atau Penyedia Jaringan Akses adalah penyedia jaringan jasa internet yang hanya terbatas pada penyelenggaraan jaringan yang dapat digunakan oleh penyedia jasa internet lainnya untuk dapat masuk dan berhubungan dengan jaringan internet.
2.     Information Provider atau Penyedia Content adalah penyelenggara internet yang menyediakan isi dari media yang dapat diakses oleh pengguna internet.
3.     Portal atau Penyedia Search Engine adalah penyedia jasa internet yang menyediakan jasa berupa jalan bagi pengguna internet untuk mencari dan menemukan berbagai informasi yang disediakan oleh penyedia content  melalui portal yang dibangun dan disediakan oleh penyedia jasa search engine. Ketiga penyedia jasa ini saling berkaitan satu dengan lainnya dan kewajiban hukum yang saling berkaitan pula.
Dalam interaksinya tersebut, antarpengguna internet tidak jarang terjadi suatu kesepakatan untuk melakukan suatu transaksi bisnis yang mana kemudian lazim dikenal sebagai e-commerce.
Saat ini penulis tidak bisa menemui definisi pasti dari E-commerce yang sudah distandarkan dan disepakati bersama. Namun secara umum David Baum dalam tulisannya pada Oracle Magazine yang berjudul “Business Link” menyatakannya sebagai berikut:[9]
E-Commerce is a dynamic set of technologies, applications, and business process that link enterprises, consumers, and communities through electronic transactions and the electronic exchange of goods, services, and information.

E-commerce merupakan satu set dinamis teknologi, aplikasi, dan proses bisnis yang menghubungkan perusahaan, konsumen, dan komunitas tertentu melalui transaksi elektronik dan perdagangan barang, pelayanan, dan informasi yang dilakukan secara elektronik.
Lebih lanjut bahwa e-commerce adalah bagian dari e-business (bisnis yang dilakukan dengan menggunakan electronic transmission) yang oleh para ahli dan pelaku bisnis dicoba dirumuskan definisinya dari terminologi e-commerce. Secara umum e-commerce dapat didefinisikan sebagai segala bentuk transaksi perdagangan atau perniagaan barang dan jasa (trade of goods and service) dengan menggunakan media elektronik. Jadi jelas bahwa kegiatan perniagaan tersebut merupakan bagian dari kegiatan bisnis “e-commerce is a part of e- business”.
Pengertian lainnya, e-commerce dapat pula dikatakan sebagai:[10]
E-Commerce is the practice of buying and selling products and services over the Internet, utilizing technologies such as the Web, electronic data interchange, e-mail, electronic fund transfers, and smart cards.

Definisi yang paling lengkap adalah definisi yang dikemukakan oleh ECEG (Electronic Commerce Expert Group) yang mendefinisikan e-commerce sebagai:[11]
A broad concept that covers any commercial transaction that is effected via electronic means and would include such means as facsimile, telex, electronic data interchange (EDI), internet and the telephone. For the purpose of this report the term is limited to those trade and commercial transaction involving computer to computer communications whether utilising an open or closed network”.

Jadi media dalam transaksi e-commerce ini meliputi antara lain faksimili, telex, EDI, internet dan telepon. Namun dalam tulisan ini media elektronik yang dibahas hanya difokuskan dalam hal media internet saja. Secara umum e-commerce dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis dengan masing-masing karakteristiknya yaitu Business to Business  atau B2B dan Business to Consumer  atau B2C.

B.   Aspek Hukum Transaksi E-Commerce Ditinjau Dari Segi Hukum Perikatan dan Pembuktian
1. Mekanisme Penawaran dan Penerimaan Online
Istilah perjanjian jual beli (contract of sale) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1450-1457 KUHPerdata Indonesia adalah suatu persetujuan, dengan mana pihak satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan dan pihak lain mengikatkan diri untuk membayar harga yang dijanjikan.
 Definisi ini ada kesamaannya dengan definisi yang tercantum dalam Artikel 1493 Nieuw Burgerlijk Wetboek (NBW) atau KUHPerdata Belanda yaitu perjanjian jual beli adalah persetujuan dimana penjual mengikatkan dirinya untuk menyerahkan kepada pembeli suatu barang sebagai milik (en eigendom te leveren) dan menjaminnya (vrijwaren) dan pembeli mengikat dirinya untuk membayar harga yang diperjanjikan.[12] Sehingga secara lengkap penulis memformulasikan sebagai suatu perjanjian yang dibuat antara penjual dan pembeli yang mana di dalam perjanjian tersebut penjual berkewajiban untuk menyerahkan objek jual beli kepada pembeli dan berhak menerima harga dan pembeli berkewajiban untuk membayar harga dan berhak menerima objek jual beli.
Transaksi jual beli e-commerce juga merupakan suatu perjanjian jual beli sama dengan jual beli konvensional. Hanya saja terletak perbedaan pada media yang digunakan.
Pada transaksi e-commerce, yang dipergunakan adalah media elektronik yaitu internet sehingga kesepakatan ataupun perjanjian yang tercipta adalah secara online.
Perjanjian atau kontrak online dalam e-commerce memiliki banyak variasi dan tipe:[13]
1.     Kontrak melalui chatting dan video conference;
2.     Kontrak melalui e-mail;
3.     Kontrak melalui website (situs).
Chatting dan Video conference adalah sebuah alat komunikasi yang disediakan oleh internet yang biasa digunakan untuk dialog interaktif secara langsung. Dengan chatting, seseorang dapat berkomunikasi secara langsung dengan orang lain persis sama dengan telepon, hanya saja komunikasi lewat chatting ini adalah pernyataan-pernyataan yang terbaca pada masing-masing Personal Computer (PC). Sementara itu, video conference, sesuai dengan namanya, adalah alat untuk berbicara dengan beberapa pihak dengan melihat langsung gambar rekan bisnis yang dihubungi dengan alat ini. Video Conference ini juga bersifat interaktif dan langsung. Sedangkan kontrak melalui e-mail adalah salah satu kontrak online yang cukup populer, karena pengguna e-mail saat ini sangat banyak dan mendunia dengan biaya yang sangat murah dan waktu yang cukup efisien. Alamat e-mail sendiri dapat diperoleh secara berlangganan maupun cuma-cuma.
a.  Penawaran
          Penawaran merupakan suatu “invitation to enter into a binding agreement”. Suatu perbuatan seseorang sebagai ajakan untuk masuk ke dalam suatu ikatan perjanjian dapat dianggap sebagai penawaran. Dalam transaksi e-commerce, khususnya jenis B2C, yang melakukan penawaran adalah merchant atau produsen/penjual. Para merchant tersebut memanfaatkan website untuk menjajakan produk dan jasa pelayanan. Mereka menyediakan virtual store atau semacam storefront atau etalase yang berisikan katalog produk yang ditawarkan. Para pembeli seperti berjalan-jalan di depan toko dan melihat barang-barang di etalase serta berbelanja kapan saja dan di mana saja tanpa dibatasi oleh jam buka atau tutup suatu toko. Penawaran inipun terbuka bagi semua orang. Dalam website tersebut biasanya ditampilkan barang yang ditawarkan, harganya, spesifikasi barang, dan menu lain yang berhubungan. Kalau tertarik maka dapatlah terjadi transaksi.
b. Penerimaan
          Dalam transaksi e-commerce melalui website, biasanya calon pembeli akan memilih barang tertentu yang ditawarkan oleh penjual. Jika calon pembeli tertarik maka shopping chart akan menyimpan terlebih dahulu barang yang diinginkan sampai calon pembeli yakin akan pilihannya. Setelah yakin akan pilihannya maka calon pembeli akan memasuki tahap pembayaran.

2. Metode Pembayaran
          Bentuk pembayaran yang digunakan di internet umumnya bertumpu pada sistem keuangan internasional, tetapi ada juga beberapa yang mengacu pada keuangan lokal.
Klasifikasi mekanisme pembayaran tersebut yaitu:[14]
a)      Transaksi model ATM. Transaksi ini hanya melibatkan institusi finansial dan pemegang account yang akan melakukan pengambilan atau mendeposit uangnya dari account masing-masing.
b)     Pembayaran dua pihak tanpa perantara menggunakan uang nasionalnya.
c)      Pembayaran dengan perantaraan pihak ketiga yang umumnya menyangkut debit, kredit maupun cek masuk dalam kategori ini. Ada beberapa metode pembayaran yang dapat digunakan, yaitu sistem pembayaran cek online dan sistem pembayaran kartu kredit online.
Sistem pembayaran dengan kartu kredit inilah yang sering menjadikan transaksi e-commerce menjadi masalah. Pembajakan dan penipuan kartu kredit sering terjadi. Sejumlah konsumen yang berbelanja lewat internet pernah mengalami pencurian nomor kartu kredit.

3. Pengiriman
          Pengiriman dapat dilakukan dengan cara dikirim sendiri atau menggunakan jasa pengiriman lainnya. Biaya pengiriman dan asuransi biasanya dihitung dalam pembayaran, atau bahkan seringkali dikatakan pelayanan gratis terhadap pengiriman karena sudah termasuk dalam biaya penyelenggaraan dalam sistem tersebut.[15]
4. Sistem Terbuka dan Asas Konsensualisme dalam Hukum Perjanjian menurut KUHPerdata Indonesia serta Legalitas Transaksi E-Commerce.
          Hukum perjanjian menganut sistem terbuka yang memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja, asalkan tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan.[16]
          Sistem terbuka yang mengandung suatu asas kebebasan membuat perjanjian (freedom of contract), dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia lazimnya disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat (1) yang berbunyi demikian:
“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.

Dengan menekankan pada perkataan “semua”, maka pasal tersebut seolah-olah berisikan suatu pernyataan kepada masyarakat bahwa seseorang diperbolehkan membuat perjanjian yang berupa dan berisi apa saja, atau tentang apa saja, dan perjanjian itu akan mengikat mereka yang membuatnya seperti suatu undang-undang (asas pacta sunt servanda).[17]
Dengan kata lain, seseorang diperbolehkan membuat undang-undang bagi dirinya sendiri sepanjang hal tersebut tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan. Pasal-pasal dari hukum perjanjian hanya berlaku apabila atau sekadar kita tidak mengadakan aturan-aturan sendiri dalam perjanjian-perjanjian yang diadakan.
          Arti asas Konsensualisme adalah pada dasarnya perjanjian dan perikatan yang timbul karenanya itu sudah dilahirkan sejak detik tercapainya kesepakatan. Dengan kata lain, perjanjian itu sudah sah apabila sudah sepakat mengenai hal-hal yang pokok dan tidaklah diperlukan suatu formalitas.[18] Asas konsensualisme ini lazimnya disimpulkan dari pasal 1320 KUHPerdata Indonesia yang berbunyi:
“Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat: 1. Sepakat bagi mereka yang mengikat dirinya; 2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian; 3. Suatu hal tertentu; 4. Suatu sebab yang halal”.

1. Sepakat bagi mereka yang mengikatkan dirinya.
Menurut ajaran yang paling tua, haruslah dipegang teguh tentang adanya persesuaian kehendak antara kedua belah pihak. Apabila kedua kehendak itu berselisih, maka tak dapatlah lahir suatu perjanjian. Kesepakatan adalah inti dari suatu perjanjian (agreement is the essence of a contract). Sepakat yang diperlukan untuk melahirkan suatu perjanjian dianggap telah tercapai, ketika pernyataan yang dikeluarkan oleh suatu pihak diterima oleh pihak lain.[19] Mengenai kapan saat terjadinya kontrak dalam transaksi elektronik, maka untuk menetapkannya dapat dikaitkan dengan teori-teori dalam hukum perjanjian, seperti:[20]
a)      Teori Kehendak (wilstheorie)
Dikaitkan dengan teori ini maka terjadinya kontrak adalah ketika pihak penerima menyatakan penerimaannya dengan menulis e-mail;
b)     Teori Pengiriman (verzendtheorie)
Bila menggunakan teori ini maka terjadinya kontrak adalah pada saat penerima mengirim e-mail tersebut;
c)      Teori Pengetahuan (vernemingtheorie)
Menurut teori ini terjadinya kontrak adalah sejak diketahuinya e-mail dari penerima oleh penawar;
d)     Teori Kepercayaan (vertrowenstheorie)
Menurut teori ini kontrak terjadi pada saat pernyataan penerimaan tersebut selayaknya telah diterima oleh penawar. 
Sedangkan menurut Subekti dalam bukunya “Hukum Perikatan”, ajaran yang lazim dianut sekarang adalah perjanjian harus dianggap lahir pada saat pihak yang melakukan penawaran (offerte) menerima jawaban yang termaktub dalam surat dari pihak yang ditawarkan, sebab detik itulah yang dapat dianggap sebagai detik lahirnya kesepakatan.
Menurut penulis, dalam transaksi elektronik, teori inilah yang paling relevan untuk diterapkan. Lebih lanjut lagi menurut Subekti, tempat tinggal/domisili pihak yang mengadakan penawaran (offerte) itu berlaku sebagai tempat lahirnya atau ditutupnya perjanjian. Tempat ini pun menetapkan domisili hukum mana yang seharusnya berlaku.
Jual beli dianggap sudah terjadi antara kedua belah pihak seketika setelah mereka mencapai sepakat tentang barang dan harga, meskipun barang itu belum diserahkan maupun harganya belum dibayar. Dalam transaksi e-commerce, tidak ada proses tawar menawar seperti pada transaksi jual beli di pasar secara langsung. Barang dan harga yang ditawarkan terbatas dan telah ditentukan oleh penjual. Jika pembeli tidak setuju atau tidak sepakat maka pembeli bebas untuk tidak meneruskan transaksi. Selanjutnya, pembeli dapat mencari website atau toko lainnya yang lebih sesuai keinginannya. Kesepakatan dihasilkan dalam transaksi e-commerce jika pembeli menyepakati barang dan harga yang ditawarkan oleh penjual (merchant).
Transaksi e-commerce sebagai suatu perjanjian juga dapat dibatalkan. Pembeli yang telah menyepakati barang dan harga masih punya kesempatan untuk membatalkan perjanjian jual beli dengan fasilitas “cancel an order”, tetapi dengan catatan bahwa barang belum masuk pada tahap pengiriman. Demikian pula dengan penjual (merchant), mereka juga dapat membatalkan perjanjian jika ternyata pembeli yang melakukan transaksi tersebut terbukti belum dewasa atau tidak cakap atau ternyata ada unsur-unsur penipuan dan kekhilafan didalamnya.

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
          Pada asasnya semua orang adalah cakap untuk membuat perikatan, kecuali jika ia oleh undang-undang dinyatakan tidak cakap. Orang tak cakap menurut KUHPerdata Indonesia adalah mereka yang belum dewasa (belum genap berusia 21 tahun atau mereka yang belum berusia 21 tahun tetapi telah menikah) dan mereka yang di bawah pengampuan (gila, dungu, mata gelap, lemah akal, dan pemboros).
          Dalam transaksi e-commerce sangat sulit menentukan seseorang yang melakukan transaksi telah dewasa atau tidak di bawah pengampuan, proses penawaranan dan penerimaan tidak secara langsung dilakukan tetapi hanya melalui media virtual yang rawan penipuan.[21]
          Jika ternyata yang melakukan transaksi adalah orang yang tidak cakap maka pihak yang dirugikan dapat menuntut agar perjanjian dibatalkan.

3. Suatu hal tertentu.
          Hal tertentu menurut undang-undang adalah prestasi yang menjadi pokok perjanjian yang bersangkutan. Barang yang dimaksudkan dalam perjanjian paling sedikit harus ditentukan jenisnya, undang-undang tidak mengharuskan barang tersebut sudah ada atau belum di tangan pembeli pada saat perjanjian dibuat.
Ada barang tertentu yang tidak boleh diperjualbelikan dalam transaksi e-commerce, seperti memperjualbelikan hewan.[22] Ada pula barang-barang yang tidak dapat dijual melalui kesepakatan online, seperti jual beli tanah yang mensyaratkan jual beli tanah harus dituangkan dalam akte tertentu yaitu akte Pejabat Pembuat Akte Tanah (PPAT). Akte ini di buat di hadapan Notaris atau Camat setempat.
Untuk saat ini proses pembuatan akte tersebut tidak dimungkinkan dibuat secara online sehingga harus dilakukan secara langsung (tatap muka), kecuali jika dalam perkembangannya nanti akan ada undang-undang yang mengatur bahwa semua itu dapat dilakukan melalui media elektronik.

4. Suatu sebab yang halal.
          Sebab yang halal adalah isi dari perjanjian dan bukan sebab para pihak melakukan perjanjian. Isi perjanjian tersebut haruslah sesuai dengan undang-undang dan tidak berlawanan dengan kesusilaan serta ketertiban umum.[23]

5. Bentuk-bentuk Wanprestasi dalam Transaksi E-commerce
          Transaksi e-commerce merupakan perjanjian jual beli juga sebagaimana yang dimaksud oleh KUHPerdata Indonesia. Oleh karena transaksi e-commerce merupakan suatu perjanjian, sehingga transaksi e-commerce melahirkan juga apa yang disebut prestasi, yaitu kewajiban salah satu pihak untuk melaksanakan hal-hal yang ada dalam suatu perjanjian.
Adanya prestasi memungkinkan terjadinya wanprestasi atau tidak dilaksanakannya prestasi/kewajiban sebagaimana mestinya yang dibebankan oleh kontrak kepada pihak-pihak tertentu. Dalam restatetment of the law of contracts (Amerika Serikat), wanprestasi atau breach of contract dibedakan menjadi dua macam yaitu total breach atau pelaksanaan kontrak yang tidak mungkin dilaksanakan dan partial breach atau pelaksanaan perjanjian masih mungkin dilaksanakan.[24]  Wanprestasi yang dimaksud dalam e-commerce adalah:
a. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya.
     Penjual atau merchant mempunyai kewajiban untuk menyerahkan barang yang dijual kepada pembeli dan menanggung kenikmatan tenteram serta menanggung cacat-cacat tersembunyi.
b. Melaksanakan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat.
     Untuk wanprestasi model ini sebenarnya mirip dengan wanprestasi model yang pertama. Jika barang pesanan datang terlambat tetapi tetap dapat dipergunakan maka hal ini dapat digolongkan sebagai prestasi yang terlambat.
c. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.

6. Alat Bukti Surat/Dokumen dalam Pembuktian
Banyak pihak yang meragukan apakah suatu akte elektronik dapat dianggap sebagai suatu tulisan atau surat-surat atau dokumen. Mengenai hal ini Abu Bakar Munir mengemukakan bahwa suatu pesan data (data message) dianggap sebagai suatu informasi tertulis (surat dan dokumen) apabila informasi tersebut dapat diakses dan dapat dipergunakan sebagai acuan selanjutnya.[25]
Bila tanda tangan diperlukan oleh aturan hukum, maka hal itu dipenuhi jika digunakan metode identifikasi yang dapat dipercaya (reliable) seperti tanda tangan digital (digital signature), tanda tangan elektronik (e-signature), dan sebagainya.
Tanda tangan digital adalah suatu tanda tangan yang di buat secara elektronik yang berfungsi sama dengan tanda tangan konvensional pada dokumen kertas biasa.[26] Tanda tangan adalah data yang apabila tidak dipalsukan, dapat berfungsi untuk menyatakan bahwa orang yang namanya tertera pada suatu dokumen setuju dengan apa yang tercantum pada dokumen yang ditandatanganinya itu. Tanda tangan digital ini berbeda dengan tanda tangan elektronik (e-signature).
          Menurut I.B.R. Supancana, Chairman of Center for Regulatory Research Jakarta, Tanda tangan elektronik (e-signature) adalah data dalam bentuk elektronik yang melekat atau secara logika dapat diasosiasikan sebagai suatu pesan data (data message) yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi penandatangan pesan data tersebut untuk menunjukkan persetujuannya terhadap informasi yang terdapat dalam pesan data tersebut. Sedangkan tanda tangan digital (digital signature) merupakan suatu istilah dari suatu teknologi tertentu dari e-signature. Digital Signature melibatkan penggunaan infrastruktur kunci publik (public key infrastructure) atau cryptography untuk menandatangani suatu pesan. Dalam legislasi Malaysia, digital signature diartikan sebagai suatu transformasi pesan dengan menggunakan suatu cryptosystem assimetric sehingga orang yang memiliki pesan awal dan penandatangan kunci publik dapat secara akurat ditetapkan. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa e-signature mempunyai pengertian yang lebih luas dari digital signature.[27]
Suatu e-signature adalah sah apabila terdapat suatu metode yang digunakan untuk mengidentifikasi orang serta menunjukkan persetujuan. Demikian pula apabila metode yang digunakan dapat dipercaya dan memadai untuk maksud pesan data yang disepakati dihasilkan atau dikomunikasikan.
          Tanda tangan digital sebenarnya dapat memberikan jaminan lebih terhadap keamanan dokumen dibanding dengan tanda tangan konvensional maupun tanda tangan elektronik (e-signature). Penerima pesan yang dibubuhi tanda tangan digital dapat memeriksa atau menguji apakah pesan yang diterimanya tersebut dalam keadaan utuh dan benar-benar datang dari pengirim yang benar serta apakah pesan tersebut telah diubah setelah ditandatangani, baik secara sengaja atau tidak sengaja. Suatu tanda tangan digital yang aman tidak dapat diingkari oleh penanda tangan dibelakang hari dengan menyatakan bahwa tanda tersebut dipalsukan. Untuk lebih menyempurnakannya lagi, suatu tanda tangan digital dapat ditambahkan suatu proses yang disebut Hash Function yang memiliki tingkat keamanan yang tinggi yang mana seseorang akan sulit mengambil tanda tangan digital milik orang lain dari sebuah dokumen untuk disisipkan pada dokumen lainnya atau mengubah pesan yang dikirim tersebut. Usaha untuk mengubah tanda tangan atau pesan pada suatu dokumen, menyebabkan pengujian tanda tangan digital oleh penerima pesan akan memproses kegagalan (memberitahukan pesan kegagalan kepada penerima). Fungsi hash ini membutuhkan masukan/input berupa panjang variable tertentu, seperti panjang pesan yang dikirim yang keluarannya/output adalah sebuah ukuran yang sudah pasti dan hanya diketahui oleh penerima. Fungsi ini digunakan untuk meyakinkan bahwa jika informasi telah berubah, meskipun hanya kecil sekali, maka akan dihasilkan output yang sama sekali berbeda. Dengan kata lain, tanda tangan digital dengan fungsi hash ini dapat memberi jaminan keaslian dokumen yang dikirimkan secara digital, baik jaminan tentang identitas pengirim dan kebenaran dari dokumen tersebut.
Selain itu ada pula yang disebut sertifikat digital, yaitu jaminan keabsahan suatu kunci publik, dokumen atau tanda tangan digital yang dikeluarkan oleh suatu Certification Authority (CA), suatu badan khusus yang memiliki wewenang pengesahan, dalam suatu domain kepada Certification Authority (CA) di domain lain.[28]
Sertifikat digital adalah suatu yang bisa digunakan untuk menentukan bahwa seseorang telah menggunakan kunci publik yang asli (sebenarnya) yang ditujukan kepada orang tertentu. Seperti kita ketahui, sertifikat merupakan dokumen yang berisi pernyataan tentang kebenaran sesuatu. Contoh dalam kehidupan sehari-hari adalah SIM, akte kelahiran, KTP, passport dan sebagainya. Sertifikat tersebut berisi informasi untuk mengidentifikasi diri kita atau bisa juga berupa otorisasi lain yang menegaskan dan memperkuat identitas diri kita tersebut. Sertifikat digital merupakan data yang fungsinya tidak jauh beda dengan sertifikat konvensional di atas. Sertifikat digital berisi informasi yang disertakan pula kunci publik dan tanda tangan digital orang yang bersangkutan itu yang mana fungsinya untuk meyakinkan orang lain bahwa kunci tersebut benar-benar sah serta juga digunakan untuk mencegah orang lain yang berusaha untuk mengganti keberadaan kunci tersebut.
Menurut KUHPerdata Indonesia, surat-surat atau dokumen dapat dibagi dalam surat-surat akte dan surat-surat lain. Surat akte ialah suatu tulisan yang semata-mata dibuat untuk membuktikan sesuatu hal atau peristiwa, karenanya suatu akte harus selalu ditandatangani.[29] Sedangkan menurut Negens-Oppenheim-Polak, akte diartikan sebagai suatu tulisan yang dibuat dan ditandatangani untuk dipergunakan sebagai bukti.[30]
          Secara umum surat-surat akte dapat dibagi lagi atas surat-surat akte resmi (autentik) dan surat-surat dibawah tangan (onderhands). Suatu akte resmi ialah suatu akte yang dibuat oleh atau di hadapan seorang pejabat umum (openbaar ambtenaar) yang menurut undang-undang ditugaskan untuk membuat surat-surat akte tersebut. Pejabat Umum yang dimaksud ialah notaris, hakim, juru sita pada pengadilan, pegawai pencatatan sipil, dan sebagainya. Sedangkan suatu akte di bawah tangan adalah tiap akte yang tidak dibuat oleh atau dengan perantaraan seorang pejabat umum.
Dalam praktek dikenal bermacam-macam surat yang dalam hukum acara perdata dibagi dalam tiga kelompok, yaitu:[31]
a). Surat biasa;
b). Akte autentik;
c). Akte di bawah tangan.
          Perbedaan dari ketiga macam surat ini, yaitu dalam kelompok mana suatu tulisan termasuk, itu tergantung dari cara pembuatannya. Sehelai surat biasa dibuat tidak dengan maksud untuk dijadikan bukti. Apabila di kemudian hari surat itu dijadikan bukti, hal tersebut merupakan suatu kebetulan saja. Dalam kelompok ini termasuk surat-surat cinta, surat-surat sehubungan dengan korespondensi dagang dan sebagainya.
          Berbeda dengan surat biasa, sehelai akte dibuat dengan sengaja untuk dijadikan bukti. Walaupun belum tentu bahwa akte itu pada suatu waktu akan dipergunakan sebagai bukti di persidangan, akan tetapi suatu akte merupakan bukti bahwa suatu kejadian hukum telah dilakukan dan akte tersebut adalah buktinya. Sehelai kuitansi, faktur merupakan akte yang tergolong dalam kelompok akte dibawah tangan. Akte di bawah tangan dan akte autentik dibuat secara berlainan.
          Pasal 1868 KUHPerdata Indonesia dan Pasal 165 HIR memuat suatu definisi tentang apa yang dimaksud dengan akte autentik, yaitu: “Akte autentik adalah surat yang dibuat oleh atau dihadapan pegawai umum yang berkuasa akan membuatnya, mewujudkan bukti yang cukup oleh kedua belah pihak dan ahli warisnya serta sekalian orang yang mendapat hak daripadanya, yaitu tentang segala hal yang tersebut dalam surat itu dan juga tentang yang tercantum dalam surat itu sebagai pemberitahuan saja, tetapi yang tersebut kemudian itu hanya sekadar yang diberitahukan itu langsung berhubungan dengan pokok dalam akte tersebut”.
          Dari uraian di atas ternyata bahwa ada akte autentik yang dibuat “oleh” dan ada yang dibuat “di hadapan” pegawai umum yang berkuasa membuatnya. Akte autentik yang dibuat “oleh” misalnya adalah surat panggilan juru sita, surat putusan hakim. Sedangkan akte perkawinan dibuat di hadapan pegawai pencatat nikah dan surat perjanjian dibuat di hadapan notaris. Pegawai umum yang dimaksud di sini adalah notaris, hakim, juru sita, pegawai catatan sipil, dan sebagainya. Akte yang tidak dibuat dengan cara demikian, yang dibuat oleh yang bersangkutan sendiri, adalah akte di bawah tangan.
Setelah ada kejelasan mengenai kekuatan pembuktian dari surat, baik surat biasa, akte di bawah tangan maupun akte autentik, selanjutnya penulis coba mengkaji apakah akte elektronik mempunyai kekuatan pembuktian yang sama dengan akte yang lazim di kenal selama ini sebagaimana tersebut di atas.

C.   Konsumen
1. Pengertian Konsumen
Hondius dalam bukunya Konsumentenrecht, memberikan pengertian yang jelas bahwa konsumen adalah pemakai produksi terakhir dari benda dan jasa (uiteindelijke gebruiker van goederen en diensten).[32]
Dalam Black’s Law Dictionary, konsumen diberikan batasan yaitu:[33]
“… a person who buys goods or services for personal family, or householduse, with no intention of resale; a natural person who uses products for personal rather than business purposes.

Dalam Pasal 1 angka (2) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, diatur pengertian konsumen adalah:
“Setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”.

          Pengertian konsumen di sini merupakan konsumen akhir (end user) dan bukan merupakan konsumen perantara.
Pernyataan “tidak untuk diperdagangkan” yang dinyatakan dalam definisi dari konsumen ini ternyata memang dibuat sejalan dengan pengertian “pelaku usaha” yang diberikan oleh undang-undang pada Pasal 1 angka (3), yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan pelaku usaha adalah:
“Setiap perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi”.

          Ini berarti tidak hanya para produsen pabrikan yang menghasilkan barang dan/atau yang tunduk pada undang-undang ini, melainkan juga para rekanan, termasuk para agen, distributor, serta jaringan-jaringan yang melaksanakan fungsi pendistribusian dan pemasaran barang dan/atau jasa kepada masyarakat luas selaku pemakai dan/atau pengguna barang dan/atau jasa.
          Selanjutnya, untuk mempertegas makna dari barang dan/atau jasa yang dimaksudkan, undang-undang pada Pasal 1 angka (4) dan (5) juga memberikan definisi sebagai berikut:
“Barang adalah setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen”; dan “Jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen”.

2.     Hak-Hak Konsumen dan Tanggung Jawab Pelaku Usaha
2.1. Hak-hak Konsumen
Presiden Amerika Serikat ke-35, John F. Kennedy, pernah mengemukakan di depan kongres pada tanggal 15 Maret 1962 empat hak dasar konsumen, yaitu:[34]
a.      The right to safe products;
b.      The right to be informed about products;
c.      The right to definite choices in selecting products;
d.     The right to be heard regarding consumer interests.
Setelah itu, Resolusi Perserikatan Bangsa-bangsa No. 39/248 Tahun 1985 tentang Perlindungan Konsumen (Guidelines for Consumer Protection), juga merumuskan berbagai kepentingan konsumen yang perlu dilindungi, yang meliputi:[35]
a)      Perlindungan konsumen dari bahaya-bahaya terhadap kesehatan dan keamanannya;
b)     Promosi dan perlindungan kepentingan ekonomi sosial konsumen;
c)      Tersedianya informasi yang memadai bagi konsumen untuk memberikan kemampuan mereka melakukan pilihan yang tepat sesuai kehendak dan kebutuhan pribadi;
d)     Pendidikan konsumen;
e)      Tersedianya upaya ganti rugi yang efektif; dan
f)       Kebebasan untuk membentuk organisasi konsumen atau organisasi lainnya yang relevan dan memberikan kesempatan kepada organisasi tersebut untuk menyuarakan pendapatnya dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan mereka.
Menurut ketentuan Pasal 5 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, konsumen memiliki hak sebagai berikut:
a)      Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
b)     Hak untuk memilih barang dan/atau jasa, serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi, serta jaminan yang dijanjikan;
c)      Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
d)     Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
e)      Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
f)       Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
g)      Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar, jujur, serta tidak diskriminatif;
h)     Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; dan
i)       Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Secara keseluruhan dikenal 10 (sepuluh) macam hak-hak konsumen, yaitu:[36]
a. Hak atas keamanan dan keselamatan;
b.     Hak untuk memperoleh informasi;
c.      Hak untuk memilih;
d.     Hak untuk didengar;
e.      Hak untuk memperoleh kebutuhan hidup;
f.       Hak untuk memperoleh ganti rugi;
g.      Hak untuk memperoleh pendidikan konsumen;
h.     Hak untuk memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat;
i.       Hak untuk memperoleh barang sesuai denga nilai tukar yang diberikannya; dan
j.       Hak untuk mendapatkan upaya penyelesaian hukum yang patut.
Selain memperoleh hak sebagaimana tersebut di atas, sebagai balance, konsumen juga diwajibkan untuk:
a)      Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
b)     Beriktikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
c)      Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati; dan
d)     Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut. Itu dimaksudkan agar konsumen sendiri dapat memperoleh hasil yang optimal atas perlindungan dan/atau kepastian hukum bagi dirinya.
2.2. Tanggung Jawab Pelaku Usaha
Selanjutnya, sebagai konsekuensi dari hak konsumen, maka kepada pelaku usaha dibebankan pula kewajiban-kewajiban sebagai berikut sesuai Pasal 7 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu:
a)      Beriktikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
b)     Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa, serta memberikan penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan;
c)      Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur, serta tidak diskriminatif;
d)     Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
e)      Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu, serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau diperdagangkan;
f)       Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; dan
g)      Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai perjanjian.
Jadi jelaslah bahwa tanggung jawab atau kewajiban-kewajiban tersebut di atas merupakan manifestasi atau refleksi dari hak-hak konsumen dalam sisi lain yang tujuannya untuk menciptakan budaya tanggung jawab pada diri para pelaku usaha.
Masalahnya disini adalah pelaku yang dimaksud dalam undang-undang ini dalam Pasal 1 angka (3) hanyalah pelaku usaha yang berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia saja. Sedangkan di dalam transaksi e-commerce pelaku usaha yang dimaksud belum jelas keberadaan dan wilayah hukumnya.

3.     Aspek Hukum Perlindungan Konsumen
3.1. Product Liability
Istilah Product Liability (Tanggung Jawab Produk) baru dikenal sekitar 60 tahun yang lalu dalam dunia perasuransian di Amerika Serikat, sehubungan dengan dimulainya produksi bahan makanan secara besar-besaran. Baik kalangan produsen (prducer and manufacturer) maupun penjual (seller and distributor) mengasuransikan barang-barangnya terhadap kemungkinan adanya risiko akibat produk-produk yang cacat atau menimbulkan kerugian tehadap konsumen.
           Produk secara umum diartikan sebagai barang yang secara nyata dapat dilihat, dipegang (tangible goods), baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak. Namun dalam kaitannya dengan masalah tanggung jawab produsen (product liability) produk bukan hanya berupa tangible goods tapi juga termasuk yang bersifat intangible seperti listrik, produk alami (misalnya makanan hewan piaraan), tulisan (misalnya peta penerbangan yang diproduksi secara massal), atau perlengkapan tetap pada rumah real estate.
Selanjutnya, termasuk dalam pengertian produk tersebut tidak semata-mata suatu produk yang sudah jadi secara keseluruhan, tapi juga termasuk komponen suku cadang (spare part).
Berkenaan dengan masalah cacat (defect) dalam pengertian produk yang cacat (defective product) yang menyebabkan produsen harus bertanggung jawab dikenal (3) tiga macam defect, yaitu: Production/manufacturing defects, design defects dan warning or instruction defects.
Production/Manufacturing Defect, yaitu apabila suatu produk dibuat tidak sesuai dengan persyaratan sehingga akibatnya produk tersebut tidak aman bagi konsumen.
Design Defect, yaitu apabila bahaya dari produk tersebut lebih besar daripada manfaat yang diharapkan oleh konsumen biasa atau bila keuntungan dari disain produk tersebut lebih kecil dari risikonya.
Warning or Instruction Defect yaitu apabila buku pedoman, buku panduan, pengemasan, etiket (labels), atau plakat tidak cukup memberikan peringatan tentang bahaya yang mungkin timbul dari produk tersebut atau petunjuk tentang penggunaannya yang aman.
Hal yang sama juga dikemukakan oleh H. Duintjer Tebbens, bahwa untuk mengetahui kapan suatu produk mengalami cacat dapat dibedakan atas (3) tiga kemungkinan, yaitu:[37]
Kesalahan Produksi, yang dapat dibedakan atas dua bagian, yang pertama adalah kesalahan yang meliputi kegagalan proses produksi, pemasangan produk, kegagalan pada sarana inspeksi, apakah karena kelalaian manusia atau ketidakberesan pada mesin dan yang serupa dengan itu. Sedangkan yang kedua adalah produk-produk yang telah sesuai dengan rancangan dan spesifikasi yang dimaksudkan oleh pembuat, namun terbukti tidak aman dalam pemakaian normal;
Cacat Desain, yang terjadi pada tingkat persiapan produk. Hal ini terdiri atas desain, komposisi atau konstruksi; dan
Informasi yang tidak memadai, yang berhubungan dengan pemasaran suatu produk, dimana keamanan suatu produk ditentukan oleh informasi yang diberikan kepada pemakai berupa pemberian label produk, cara penggunaan, peringatan atas risiko tertentu atau hal lainnya sehingga produsen pembuat dan supplier dapat memberikan jaminan bahwa produk-produk mereka itu dapat dipergunakan sebagai mana dimaksudkan. Hal ini tidak berakhir hanya sampai pada penempatan produk dalam sirkulasi.
Tentang pengertian product liability dapat dikemukakan beberapa definisi sebagai berikut:
Black’s Law Dictionary mendefinisikan product liability sebagai berikut:[38]
Refers to the legal liability of manufacturers and sellers to compensate buyers, users, and even bystanders, for damages or injuries suffered because of defects in goods purchased”.

Menurut Natalie O’Connor:[39]
“Product Liability, These were designed to protect the consumer from faulty or defective goods by imposing strict liability upon manufacturers”.

Menurut Hursh:[40]
“Product liability is the liability of manufacturer, processor or non-manufacturing seller for injury to the person or property of a buyer or third party, caused by product which has been sold.”

Perkins Cole menyatakan:[41]
“Product Liability is The liability of the manufacturer or others in the chain of distribution of a product to a person injured by the use of product.”

Sedangkan dalam Convention on the Law Applicable to Products Liability (The Hague Convention), Artikel 3 menyatakan:[42]
This convention shall apply to the liability of the following persons:
1.  Manufacturers of a finished product or of a component part;
2.       Producers of a natural product;
3.  Suppliers of a product;
4.  Other persons, including repairers, and warehousemen, in the commercial chain of preparation or distribution of a product. It shall also apply to the liability of the agents or employees of the persons specified above.

Dengan demikian, yang dimaksud dengan product Liability adalah suatu tanggung jawab secara hukum dari orang atau badan yang menghasilkan suatu produk (producer, manufacturer) atau dari orang atau badan yang bergerak dalam suatu proses untuk menghasilkan suatu produk (processor, assembler) atau orang atau badan yang menjual atau mendistribusikan produk tersebut. Bahkan dilihat dari konvensi tentang product Liability di atas, berlakunya konvensi tersebut diperluas terhadap orang/badan yang terlibat dalam rangkaian komersial tentang persiapan atau penyebaran dari produk, termasuk para pengusaha bengkel dan pergudangan. Demikian juga dengan para agen dan pekerja dari badan-badan usaha di atas.
Tanggung jawab tersebut sehubungan dengan produk yang cacat sehingga menyebabkan atau turut menyebabkan kerugian bagi pihak lain (konsumen), baik kerugian badaniah, kematian, maupun harta benda.

3.2. Prinsip Strict Liability
          Seperti dikemukakan di atas, bahwa jika dilihat secara sepintas, nampak bahwa apa yang di atur dengan ketentuan Product Liability telah diatur pula dalam KUHPerdata Indonesia.
          Hanya saja jika seorang konsumen menderita kerugian dan ingin menuntut pihak produsen (termasuk pedagang, grosir, distributor, dan agen) dengan menggunakan KUHPerdata Indonesia, maka pihak korban tersebut akan menghadapi beberapa kendala yang akan menyulitkannya untuk memperoleh ganti rugi. Kesulitan tersebut adalah pihak konsumen harus membuktikan ada unsur kesalahan yang dilakukan oleh pihak produsen. Jika konsumen tidak berhasil membuktikan kesalahan produsen, maka gugatan konsumen akan gagal.
          Oleh karena berbagai kesulitan yang dihadapi oleh konsumen tersebut, maka sejak tahun 1960-an, di Amerika Serikat di berlakukan prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability principle). Dengan diterapkannya prinsip tanggung jawab mutlak ini, maka setiap konsumen yang merasa dirugikan akibat produk atau barang yang cacat atau tidak aman dapat menuntut kompensasi tanpa harus mempermasalahkan ada atau tidak adanya unsur kesalahan di pihak produsen.
          Di Negeri Belanda, penggunaan strict liability yang menghapuskan syarat privity of contract telah diperkenalkan oleh Meijers pada tahun 1961. Dalam rancangannya tentang ketentuan produktenaansprakelijkheid di dalam Nieuw Burgerlijk Wetboek (NBW) atau KUHPerdata Belanda Pasal 6.3.13 dinyatakan sebagai berikut:[43]
Any person who manufactures and puts or causes to be put into circulation a product which by reason of a defect unknown to him constitutes a danger to persons or to objects, is liable, if that danger materializes, .....”.

          Alasan-alasan mengapa prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) diterapkan dalam hukum tentang product liability adalah:
a.   Di antara korban/konsumen di satu pihak dan produsen di lain pihak, beban kerugian (risiko) seharusnya ditanggung oleh pihak yang memproduksi/mengeluarkan barang-barang cacat/berbahaya tersebut di pasaran;
b.   Dengan menempatkan/mengedarkan barang-barang di pasaran, berarti produsen menjamin bahwa barang-barang tersebut aman dan pantas untuk dipergunakan, dan bilamana terbukti tidak demikian, dia harus bertanggung jawab;
c.   Sebenarnya tanpa menerapkan prinsip tanggung jawab mutlakpun produsen yang melakukan kesalahan tersebut dapat dituntut melalui proses penuntutan beruntun, yaitu konsumen kepada pedagang eceran, pengecer kepada grosir, grosir kepada distributor, distributor kepada agen, dan agen kepada produsen. Penerapan strict liability dimaksudkan untuk menghilangkan proses yang panjang ini.
Selain hal tersebut di atas, ada alasan-alasan lain yang memperkuat penerapan prinsip strict liability tersebut yang didasarkan pada prinsip Social Climate Theory:[44]
1.       Manufacturer adalah pihak yang berada dalam posisi keuangan yang lebih baik untuk menanggung beban kerugian, dan pada setiap kasus yang mengharuskannya mengganti kerugian dia akan meneruskan kerugian tersebut dan membagi risikonya kepada banyak pihak dengan cara menutup asuransi yang preminya dimasukkan ke dalam perhitungan harga dari barang hasil produksinya. Hal ini dikenal dengan deep pockets theory.
2.   Terdapatnya kesulitan dalam membuktikan adanya unsur kesalahan dalam suatu proses manufacturing yang demikian kompleks pada perusahaan besar (industri) bagi seorang konsumen/korban/penggugat secara individual.
Dalam hukum tentang product liability, pihak korban/konsumen yang akan menuntut kompensasi pada dasarnya hanya diharuskan menunjukkan tiga hal: pertama, bahwa produk tersebut telah cacat pada waktu diserahkan oleh produsen; kedua, bahwa cacat tersebut telah menyebabkan atau turut menyebabkan kerugian/kecelakaan; dan ketiga, adanya kerugian. Namun juga diakui secara umum bahwa pihak korban/konsumen harus menunjukkan bahwa pada waktu terjadinya kerugian, produk tersebut pada prinsipnya berada dalam keadaan seperti waktu diserahkan oleh produsen (artinya tidak ada perekayasaan).
Dari perkembangan product liabililty di pelbagai negara, dapat dikemukakan bahwa product liability merupakan lembaga hukum yang tetap menggunakan konstruksi hukum tort atau onrechmatigedaad (perbuatan melawan hukum), dengan beberapa modifikasi, antara lain:[45]
a)      Produsen langsung dianggap bersalah jika terjadi kasus product liability, sehingga di dalamnya dianut prinsip praduga bersalah (presumption of fault), berbeda dengan praduga tidak bersalah (presumption of no-fault) yang selama ini dianut oleh tort dan onrechmatigedaad;
b)     Karena produsen dianggap bersalah, maka konsekuensinya produsen harus bertanggung jawab (liable) untuk memberi ganti rugi secara langsung kepada pihak konsumen yang menderita kerugian. Jenis tanggung jawab semacam ini disebut no-fault liability atau strict liability;
c)      Karena produsen sudah dianggap bersalah, maka konsumen yang menjadi korban tidak perlu lagi membuktikan unsur kesalahan produsen. Dilihat dari segi ini, konsumen jelas sangat diringankan dari beban untuk membuktikan kesalahan produsen, yang relatif sangat sukar, seperti yang dianut di dalam tort dan onrechmatigedaad. Dalam hal ini beban pembuktian justru dialihkan (shifting the burden of proof) kepada pihak produsen, untuk membuktikan bahwa produsen tidak melakukan kesalahan yang menimbulkan kerugian kepada konsumen.
Namun demikian, karena karakter dasar dari product liability adalah tort dan onrechmatigedaad, maka konsumen yang menjadi korban masih harus membuktikan ketiga unsur lainnya, yaitu perbuatan produsen adalah perbuatan melawan hukum; telah timbul kerugian; serta ada hubungan kausal antara perbuatan melawan hukum dan kerugian yang timbul.
Di samping itu, meskipun sistem tanggung jawab pada product liability berlaku prinsip strict liability, pihak produsen dapat membebaskan diri dari tanggung jawabnya, baik untuk seluruhnya atau untuk sebagian. Hal-hal yang dapat membebaskan tanggung jawab produsen tersebut adalah:
a.  Jika produsen tidak mengedarkan produknya (put into circulation);
b.       Cacat yang menyebabkan kerugian tersebut tidak ada pada saat produk diedarkan oleh produsen, atau terjadinya cacat tersebut baru timbul kemudian;
c.   Bahwa produk tersebut tidak dibuat oleh produsen baik untuk dijual atau diedarkan untuk tujuan ekonomis maupun dibuat atau diedarkan dalam rangka bisnis;
d.       Bahwa terjadinya cacat pada produk tersebut akibat keharusan memenuhi kewajiban yang ditentukan dalam peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah;
e.  Bahwa secara ilmiah dan teknis (state of scientific a technical knowledge, state of the art defense) pada saat produk tersebut diedarkan tidak mungkin cacat;
f.   Dalam hal produsen dari suatu komponen, bahwa cacat tersebut disebabkan oleh desain dari produk itu sendiri dimana komponen telah dicocokkan atau disebabkan kesalahan pada petunjuk yang diberikan oleh pihak produsen tersebut;
g.       Bila pihak yang menderita kerugian atau pihak ketiga turut menyebabkan terjadinya kerugian tersebut (contributory negligence);
h.       Kerugian yang terjadi diakibatkan oleh Acts of God atau force majeure.
Dengan diberlakukannya prinsip strict liability diharapkan para produsen dan industriawan di Indonesia menyadari betapa pentingnya menjaga kualitas produk-produk yang dihasilkannya, sebab bila tidak selain akan merugikan konsumen jug akan sangat besar risiko yang harus ditanggungnya. Para produsen akan lebih berhati-hati dalam memproduksi barangnya sebelum dilempar ke pasaran sehingga konsumen, baik dalam maupun luar negeri tidak akan ragu-ragu membeli produksi Indonesia.
Namun demikian, dengan berlakunya prinsip strict liability  dalam hukum tentang product liability tidak berarti pihak produsen tidak mendapat perlindungan. Pihak produsen juga dapat mengasuransikan tanggung jawabnya sehingga secara ekonomis dia tidak mengalami kerugian yang berarti.
Pentingnya hukum tentang tanggung jawab produsen (product liability) yang menganut prinsip tanggung mutlak (strict liability) dalam mengantisipasi kecenderungan dunia dewasa ini yang lebih menaruh perhatian pada perlindungan konsumen dari kerugian yang diderita akibat produk yang cacat. Hal ini disebabkan karena sistem hukum yang berlaku dewasa ini dipandang terlalu menguntungkan pihak produsen, sementara produsen memiliki posisi ekonomis yang lebih kuat.
Konsumen dalam transaksi e-commerce memiliki risiko yang lebih besar daripada penjual atau merchant-nya. Kemudian ada hal lain yang dapat semakin merugikan konsumen yaitu data dicuri oleh pihak ketiga, seperti nomor kartu kredit atau pembeli ditipu oleh penjual yang palsu/fiktif. Keseimbangan perlindungan konsumen dan pelaku usaha dapat dicapai dengan meningkatkan perlindungan terhadap konsumen karena selama ini memang posisi pelaku usaha/penjual lebih kuat daripada konsumen.
Salah satu cara yang paling utama dalam mencapai keseimbangan tersebut adalah dengan menegakkan hak-hak konsumen. Sebagaimana juga diatur dalam Undang-undang Republik Indonesia No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Saat ini melalui Undang-undang Perlindungan Konsumen, beban pembuktian terbalik dimungkinkan untuk diterapkan meskipun belum tampak tegas. Hal ini disebabkan bahwa pelaku usaha adalah pihak yang paling mengetahui informasi secara benar, jelas, dan jujur atas setiap barang dan/atau jasa yang dikonsumsi. Jadi pihak pelaku usaha harus lebih waspada dan berhati-hati dalam memproduksi sesuatu, jangan sampai bertentangan dengan tuntutan, kriteria, dan kepentingan konsumen tanpa perlu mempertimbangkan terlebih dahulu harus adanya syarat hubungan kontraktual antara pelaku usaha dan konsumen.
4.     Konsep Ganti Rugi
Pasal 1243 KUHPerdata Indonesia memperincikan kerugian (dalam arti luas) ke dalam tiga kategori sebagai berikut:
a)      Biaya;
b)     Kerugian (dalam arti sempit), dan;
c)      Bunga.
Yang dimaksud dengan biaya adalah setiap cost yang harus dikeluarkan secara nyata oleh pihak yang dirugikan, dalam hal ini sebagai akibat dari adanya wanprestasi (breach of contract).
Sementara itu, yang dimaksud dengan kerugian dalam arti sempit adalah keadaan merosotnya/berkurangnya nilai kekayaan kreditor sebagai akibat dari adanya wanprestasi dari pihak debitor.
Selanjutnya, yang dimaksud dengan bunga adalah keuntungan yang seharusnya diperoleh tetapi tidak jadi diperoleh oleh kreditor karena adanya tindakan wanprestasi dari pihak debitor.
Dalam literatur dan praktik hukum, suatu ganti rugi sering dibagi dalam 5 (lima) jenis:
a)      Ganti rugi;
b)     Pelaksanaan kontrak tanpa ganti rugi;
c)      Pelaksanaan kontrak dengan ganti rugi;
d)     Pembatalan kontrak timbal balik tanpa ganti rugi;
e)      Pembatalan kontrak dengan ganti rugi.
Persyaratan-persyaratan yang ditetapkan oleh KUHPerdata Indonesia sehingga dapat dikatakan terjadinya kerugian (dalam arti luas) adalah sebagai berikut:[46]
1.     Komponen kerugian yang dapat diberikan ganti rugi terdiri dari: a). Biaya; b). Kerugian (dalam arti sempit); dan c). Bunga.
2.     Starting point dari ganti rugi atau dimulai diwajibkannya suatu pembayaran ganti rugi adalah:
a)      Sejak dinyatakan wanprestasi, debitor tetap melalaikan kewajibannya, atau;
b)     Terhadap sesuatu yang harus dibuat atau diberikan, sejak saat dilampauinya tenggang waktu di mana debitor dapat membuat atau memberikan tersebut.
3.     Bukan karena alasan Force Majeure
Terhadap debitor baru dapat dimintakan ganti rugi jika wanprestasi tersebut bukan dikarenakan oleh alasan yang tergolong kedalam force majeure, yaitu dalam hal-hal sebagai berikut:
a)      Karena sebab-sebab yang tidak terduga.
Menurut Pasal 1244 KUHPerdata Indonesia, jika terjadi hal-hal yang tidak terduga (pembuktiannya di pihak debitor) yang menyebabkan terjadinya kegagalan dalam melaksanakan kontrak, hal tersebut bukan termasuk dalam kategori wanprestasi kontrak, melainkan termasuk dalam kategori force majeure, yang pengaturan hukumnya lain sama sekali. Kecuali jika debitor beriktikad jahat, maka debitor tetap dapat dimintakan pertanggung-jawabannya.
b)     Karena keadaan memaksa.
Sebab lain mengapa seorang debitor dianggap dalam keadaan force majeure sehingga debitor tidak perlu bertanggung jawab atas tidak dilaksanakannya kontrak adalah disebabkan oleh keadaan memaksa (Pasal 1245 KUHPerdata).
c)      Karena perbuatan tersebut dilarang.
Apabila ternyata perbuatan (prestasi) yang harus dilakukan oleh debitor ternyata dilarang oleh perundang-undangan yang berlaku, maka kepada debitor tersebut tidak terkena kewajiban membayar ganti rugi (Pasal 1245 KUHPerdata).
4.     Saat terjadinya kerugian.
Pada prinsipnya (dengan beberapa pengecualian), maka kerugian yang harus diberikan ganti rugi oleh debitor dalam hal adanya wanprestasi terhadap suatu kontrak adalah kerugian yang berupa (Pasal 1246 KUHPerdata):
a)      Kerugian yang benar-benar telah di deritanya; dan
b)     Kehilangan keuntungan yang sedianya harus adapat dinikmati oleh kreditor.
5.     Kerugiannya dapat diduga.
Untuk dapat diberikan ganti rugi kepada kreditor, maka kerugian yang ditimbulkannya tersebut haruslah diharapkan akan terjadi atau sedianya sudah dapat diduga sejak saat dilakukannya perbuatan yang menimbulkan kerugian tersebut. Ketentuan seperti ini tidak berlaku jika tidak dipenuhinya kontrak tersebut disebabkan oleh tipu daya yang dilakukan olehnya (Pasal 1247 KUHPerdata).


6.     Kerugiannya merupakan akibat langsung.
Ganti rugi dapat dimintakan oleh kreditor dari debitor yang melakukan wanprestasi terhadap suatu kontrak hanya sebatas kerugian dan kehilangan keuntungan yang merupakan akibat langsung dari wanprestasi tersebut, sungguhpun tidak terpenuhinya kontrak itu terjadi karena adanya tindakan penipuan oleh pihak debitor (Pasal 1248 KUHPerdata).
7.     Ganti rugi yang ditetapkan dalam kontrak.
Apabila dalam suatu kontrak ada provisi yang menentukan jumlah ganti rugi yang harus dibayar oleh pihak debitor jika debitor tersebut wanprestasi, maka pembayaran ganti rugi tersebut hanya sejumlah yang ditetapkan dalam kontrak tersebut. Tidak boleh lebih atau dikurangi (Pasal 1249 KUHPerdata).
8.     Ganti rugi terhadap perikatan tentang pembayaran sejumlah uang.
Terhadap pembayaran ganti rugi yang timbul dari perikatan tentang pembayaran sejumlah uang yang disebabkan karena keterlambatan pemenuhan prestasi oleh pihak debitor, maka berlaku ketentuan sebagai berikut (Pasal 1250 KUHPerdata):
a)      Ganti rugi hanya terdiri dari bunga yang ditetapkan oleh undang-undang, kecuali ada perundang-undangan khusus yang mengatur sebaliknya;
b)     Pembayaran ganti rugi tersebut dilakukan tanpa perlu membuktikan adanya kerugian terhadap kreditor; dan
c)      Pembayaran ganti rugi tersebut terhitung sejak dimintakannya di pengadilan oleh kreditor, kecuali jika ada perundang-undangan yang menetapkan bahwa ganti rugi terjadi karena hukum.
Pada prinsipnya, kerugian yang harus diberikan oleh debitor dalam hal adanya wanprestasi terhadap suatu kontrak adalah kerugian yang berupa kerugian yang benar-benar dideritanya dan kehilangan keuntungan yang sedianya harus dapat dinikmati oleh kreditor. Ganti rugi yang dimintakan hanya sebatas kerugian dan kehilangan keuntungan yang merupakan akibat langsung dari wanprestasi tersebut.
Dalam praktik transaksi jual beli melalui e-commerce, terdapat jaminan-jaminan dari para merchant (penjual) untuk memberikan ganti rugi. Biasanya jaminan tersebut diberikan berupa ganti rugi jika barang terlambat atau tidak sesuai dengan pesanan, atau rusak pada saat pengiriman. Jaminan-jaminan ini diberikan secara berbeda-beda oleh setiap merchant. Jarang sekali terdapat merchant yang memberikan jaminan kepada konsumen secara memadai, hal ini terutama terjadi pada merchant di Indonesia, karena biasanya jaminan tersebut dibuat justru hanya untuk melindungi kepentingan merchant saja.
Terbatasnya bentuk ganti rugi yang diberikan membuat konsumen tidak dapat berbuat apa-apa. Terlihat sekali di sini bahwa jaminan yang diberikan oleh merchant justru bertujuan untuk memberikan jaminan bagi dirinya sendiri dan bukan bagi konsumen atau pembeli. Merchant hanya memberikan ganti rugi yang sangat minim dan menguntungkan pihaknya.
Ganti rugi yang sudah baku seperti ini mau tidak mau, suka tidak suka harus diterima oleh konsumen. Tidak ada tawar-menawar dalam hal ini. Jika memang konsumen tidak setuju maka ia dapat membatalkan pesanannya, tetapi masih banyak konsumen di Indonesia yang tidak kritis dan tidak teliti dalam membaca klausula baku semacam ini. Padahal, jika ternyata timbul hal-hal yang tidak diinginkan di kemudian hari maka akan timbul kerugian yang besar di pihaknya.
Pada beberapa situs belanja online biasanya juga disediakan fasilitas lainnya untuk menjamin bahwa barang yang dipesan tidak akan salah atau tidak sampai, yaitu dengan fasilitas order tracking. Dengan fasilitas ini, pembeli dapat mengetahui barang pesanannya sedang melaui proses apa.
Bahkan apabila ternyata pembeli ingin mengubah atau membatalkan pesanan, hal itu dimungkinkan selama barang belum masuk pada tahap pengiriman, dengan menggunakan fasilitas cancel an order. Atau pembeli juga bisa melacak sampai tahap mana barang tersebut dalam proses pengiriman, yaitu dengan shipping tracking.

5.     Bentuk Penyelesaian Sengketa
Melalui ketentuan Pasal 45 ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, penyelesaian sengketa konsumen dapat dilakukan melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui lembaga peradilan umum. Pada ayat (2), penyelesaian sengketa juga dapat ditempuh melalui pengadilan atau luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela dari pihak yang bersengketa. Penyelesaian sengketa konsumen melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha yaitu setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan yaitu pihak konsumen yang dirugikan dapat mengajukan gugatan melalui peradilan yang berada dilingkungan peradilan umum sedangkan Penyelesaian sengketa konsumen melalui luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela dari pihak yang bersengketa. Pihak konsumen yang dirugikan dapat memilih cara penyelesaian sengketa yang diatur dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR) melalui konsultasi, negosiasi, mediasi, dan konsiliasi atau penilaian ahli.
Ada 2 (dua) pola penyelesaian sengketa yang penulis coba paparkan dalam tulisan ini, yaitu:[47]
1.     The binding adjudicative procedure, suatu prosedur penyelesaian sengketa yang putusannya oleh hakim mengikat para pihak. Bentuk penyelesaian sengketa ini dibagi 4(empat) macam, yaitu:
a)      Litigasi (melalui pengadilan);
b)     Arbitrase; dan
c)      Hakim Partikelir (Private Judges).
2. The nonbinding adjudicative procedure, suatu proses penyelesaian sengketa yang putusannya tidak mengikat para pihak sehingga para pihak dapat menyetujui atau menolak isi putusan tersebut. Bentuk penyelesaian dengan cara ini dibagi menjadi 6(enam) macam, yaitu:
a)      Konsiliasi;
b)     Mediasi;
c)      Mini-Trial atau Persidangan Mini yang merupakan suatu negosiasi terstruktur yang biasanya berbentuk suatu pertukaran informasi yang tidak mengikat yang dilakukan di hadapan panel dan seorang penasihat netral;
d)     Summary Jury Trial atau suatu persidangan juri secara summir yang terdiri dari presentasi singkat dari pengacara para pihak tentang suatu kasus perdata;
e)      Neutral Expert Fact-Finding atau penunjukan seorang ahli yang netral oleh para pihak untuk membuat penemuan fakta-fakta yang mengikat ataupun tidak, atau bahkan membuat pengarahan materi tersebut secara mengikat. Penunjukan ini dilakukan sebelum memulai litigasi; dan
f)       Early Neutral Evaluation.
Atau apabila penyelesaian sengketa tersebut kemudian melibatkan pihak asing dari yurisdiksi yang berbeda, tentunya harus kembali mempertimbangkan instrumen hukum perdata internasional beserta asas-asas yang terkandung di dalamnya, perjanjian bilateral, atau yurisprudensi dan tidak lupa pula memperhitungkan pilihan hukum serta forum penyelesaian yang terkait dalam kontrak. Jika dalam klausula perjanjian tidak ditentukan pilihan hukum, maka dapat ditentukan hukum yang berlaku berdasarkan teori-teori yang ada. Teori-teori tersebut dapat dipakai untuk menentukan hukum mana yang berlaku jika terjadi sengketa dikemudian hari, antara lain:
1.     Teori Kotak Pos (Mail Box Theory)
Menurut teori ini, suatu kontrak atau perjanjian terjadi pada saat jawaban yang berisikan penerimaan tersebut dimasukkan ke dalam kotak pos. Dalam transaksi e-commerce, hukum yang berlaku adalah hukum dimana pembeli mengirimkan pesanan melalui komputernya. Teori ini mempunyai kelemahan yaitu ada kemungkinan pihak penjual/produsen tidak menerima pesanan pembeli/konsumen atau terlambat menerima pesanan tersebut. Oleh karena itu tetap diperlukan konfirmasi dari pihak penjual/produsen.
2.     Teori Penerimaan (Acceptance Theory)
Menurut teori ini, hukum yang berlaku adalah hukum dimana pesan dari pihak yang menerima tawaran tersebut disampaikan. Dalam transaksi e-commerce, maka hukum yang berlaku menurut teori ini adalah hukum penjual/produsen.
3.     Proper Law of The Contract
Menurut teori ini, hukum yang berlaku adalah hukum yang mempunyai titik-titik pertalian yang paling banyak atau hukum yang paling sering dipergunakan pada saat pembuatan perjanjian. Misalnya bahasa atau mata uang yang dipergunakan dalam transaksi e-commerce dan hal-hal lain yang mempunyai hubungan paling signifikan.
4.     The Most Characteristic Connection
Menurut teori ini, hukum yang berlaku adalah hukum pihak yang melakukan prestasi paling karakteristik atau paling banyak. Teori ini sudah diterima dengan meluas saat ini dan dianggap paling memuaskan untuk banyak kasus. Dalam transaksi e-commerce, penjual/produsen yang melakukan prestasi paling karakteristik.

E.  Definisi Operasional Variabel

1.     Wanprestasi (breach of contract) adalah tidak dilaksanakannya prestasi atau kewajiban sebagaimana mestinya yang dibebankan terhadap pihak-pihak tertentu seperti yang disebutkan dalam kontrak.
2.     Internet Service Provider (ISP) adalah penyedia jasa akses internet.
3.     E-mail adalah surat elektronik atau catatan yang dikirim atau diterima melalui internet.
4.     Print out adalah kertas hasil cetakan data elektronik.
5.     Digital/electronic signature adalah suatu tanda tangan yang dibuat secara elektronik yang berfungsi sama dengan tanda tangan biasa pada dokumen kertas biasa.
6.     Certification Authority (CA) adalah lembaga khusus yang menjamin keabsahan digital signature seseorang.
7.     Clickwrap/shrinkwrap agreement adalah istilah yang digunakan terhadap perjanjian bersyarat (biasanya berbentuk baku) yang dibuat oleh produsen/pelaku usaha computer software dalam internet.

BAB III
METODE PENELITIAN
A.   Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di DKI Jakarta dan kota Makassar dengan alasan bahwa pemilihan lokasi di DKI Jakarta didasarkan pada pertimbangan bahwa kasus penyelesaian sengketa di Internet saat ini hanya terjadi di DKI Jakarta. Sedangkan alasan penelitian memilih lokasi ISP yang hanya berada di kota Makassar adalah karena media internet dapat mencakup wilayah dimana saja sehingga dimana pun wilayah cabang ISP tersebut berada, data yang ada pada ISP adalah sama secara nasional. Adapun sasaran penelitiannya adalah kepada para pihak yang terlibat dan pihak berkompeten dalam hal penyelesaian sengketa perlindungan konsumen dalam transaksi e-commerce di Internet antara lain Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) di Jakarta, Internet Service Provider (ISP) di Makassar yaitu IndosatNet, wasantaraNet, dan TelkomNet, dan Advokat-advokat di DKI Jakarta yang bertujuan untuk mencari data yang konkrit tentang masalah yang telah terjadi.

B.      Pendekatan, Sifat atau Tipe Penelitian

          Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan normatif atau pendekatan yang dilakukan dengan membuat penemuan terhadap asas dan doktrin serta norma-norma hukum secara in concreto atas permasalahan yang ada (law in book) selain itu juga pendekatan empiris atau pendekatan secara sosiologis terhadap efektivitas hukum (law in action) sehingga sifat penelitian adalah deskriptif yaitu penggambaran atas perkembangan fenomena sosial/hukum tertentu dalam masyarakat.

C.      Populasi dan Sampel
Populasi adalah keseluruhan atau himpunan objek dengan ciri yang sama. Populasi dapat berupa himpunan orang atau benda (hidup atau mati), kejadian, kasus, waktu, tempat, dengan sifat atau ciri yang sama. Sedangkan sampel adalah himpunan bagian atau sebagian dari populasi.[48]
Populasi dan sampel merupakan hal yang mendasar untuk menggambarkan karakteristik atau sifat-sifat kelompok subjek, gejala atau objek yang dijaring melalui instrumen yang telah dipilih dan dipersiapkan oleh peneliti. Populasi tidak terbatas oleh jumlah dan luasnya akan tetapi ada yang memungkinkan sebagian saja, asalkan memiliki sifat-sifat yang sama dengan populasinya.[49]
Adapun yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah:
Para pengguna internet yang telah melakukan transaksi jual beli di Internet.
Sedangkan sampel dalam penelitian ini adalah:
Lima orang saja dari seluruh populasi pengguna internet yang telah melakukan transaksi jual beli di Internet yang akan dijadikan responden. Hal ini disebabkan karena derajat keseragaman (degree of homogenity) yang tinggi pada populasi sehingga cukup mendukung presisi yang dikehendaki guna menjamin tingkat kebenaran penelitian dengan menggunakan metode random sampling. Keseragaman yang dimaksud adalah semua populasi mempunyai kesamaan pandangan atas masalah perlindungan konsumen di internet. Di samping itu juga penulis mempertimbangkan tenaga, biaya dan waktu penelitian.

D. Jenis dan Sumber Data
Data apapun yang hendak dikumpulkan untuk kepentingan penelitian, maka data tersebut mesti diperoleh melalui jenis dan sumber data yang dikategorikan sedemikian rupa. Gunanya adalah untuk kepentingan perolehan validitas data, sehingga memungkinkan justifikasi hasil-hasil penelitian yang betul-betul objektif dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.[50]
          Adapun jenis dan sumber data yang digunakan sebagai dasar untuk menunjang hasil penelitian adalah:
1.     Data Primer atau data yang diperoleh secara langsung dari sumber pertama yaitu responden atau para pengguna internet yang telah melakukan transaksi jual beli di Internet dan para informan antara lain Hakim dan Staf Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Staf YLKI DKI Jakarta, Advokat/Penasihat Hukum di DKI Jakarta, Pimpinan dan Staf Internet Service Provider pada lokasi penelitian di Kota Makassar.
2.     Data Sekunder atau data yang diperoleh dari sumber-sumber tertentu, seperti dokumen-dokumen, peraturan perundang-undangan, karya ilmiah termasuk juga literatur lainnya yang sangat berkaitan dengan pembahasan penelitian ini.

E. Teknik Pengumpulan dan Analisis Data
Pengumpulan data dilakukan dengan cara:
1.     Wawancara yaitu mendatangi informan dengan melakukan tanya jawab langsung.
2.     Kuesioner yaitu membuat suatu daftar pertanyaan yang telah dipersiapkan sebelumnya dan disusun secara sistematis, kemudian dibagikan kepada responden untuk diisi dan dijawab.
3.     Dokumentasi yaitu untuk mengumpulkan data sekunder yang berkaitan dengan penelitian.
Selanjutnya data yang diperoleh baik primer maupun sekunder dianalisis secara deduktif. Kemudian dilanjutkan secara deskriptif dengan menggambarkan hasil analisis data secara kualitatif. Penggunaan teknik analisis kualitatif mencakup semua data penelitian yang telah diperoleh dari wawancara dan kuesioner. Adapun data hasil penelitian berupa angka-angka persentase yang bersumber dari penggunaan kuesioner bukan merupakan hasil kuantitatif yang secara langsung menghasilkan kesimpulan penelitian, akan tetapi hanya merupakan data pendukung guna mempertajam analisis kualitatif sekaligus memperdalam materi bahasan hasil penelitian nantinya.
Analisis kuantitatif dalam penelitian ini menggunakan rumus distribusi frekuensi, yaitu:


Text Box: F
P =  ------------- x 100%
N
 





Keterangan:
P = Persentase
F = Frekuensi
N = Jumlah responden


BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A.   Peranan hukum perjanjian Indonesia serta legalitas pembuktian dalam transaksi e-commerce di Internet
Kitab Undang-undang Hukum (KUH) Perdata Indonesia membedakan dengan jelas antara perikatan yang lahir dari perjanjian dan perikatan yang lahir dari undang-undang. Akibat hukum suatu perikatan yang lahir dari perjanjian memang dikehendaki oleh para pihak, karena memang perjanjian didasarkan atas kesepakatan yaitu persesuaian kehendak antara para pihak yang membuat perjanjian. Sedangkan akibat hukum suatu perikatan yang lahir dari undang-undang mungkin tidak dikehendaki oleh para pihak, tetapi hubungan hukum dan akibat hukumnya ditentukan oleh undang-undang. Pasal 1233 KUHPerdata Indonesia menyebutkan sumber perikatan adalah perjanjian dan undang-undang. Pasal 1313 KUHPerdata mendefinisikan bahwa perjanjian adalah suatu hubungan hukum di bidang hukum kekayaan di mana satu pihak berhak menuntut suatu prestasi dan pihak lainnya berkewajiban untuk melaksanakan suatu prestasi.
Berbicara mengenai “transaksi” umumnya orang akan mengatakan bahwa hal tersebut adalah perjanjian jual beli antarpara pihak yang bersepakat itu. Dalam lingkup hukum, sebenarnya istilah transaksi adalah keberadaan suatu perikatan maupun hubungan hukum yang terjadi antarpara pihak, sehingga transaksi sebenarnya adalah menyangkut mengenai aspek materil dari hubungan hukum yang disepakati oleh para pihak seperti yang diatur dalam Pasal 1338 juncto 1320 KUHPerdata Indonesia dan tidak menyangkut mengenai aspek formil, kecuali untuk hubungan hukum yang menyangkut benda tidak bergerak. Sepanjang mengenai benda tidak bergerak maka hukum akan mengatur mengenai perbuatan hukumnya itu sendiri yaitu harus dilakukan secara terang dan tunai. Oleh karena itu, keberadaan ketentuan-ketentuan hukum mengenai perikatan sebenarnya tetap valid karena ketentuan tersebut tetap akan mencakup semua media apa saja yang digunakan untuk melakukan transaksi, baik dengan media kertas (paper based) maupun dengan media sistem elektronik (electronic based). Suatu transaksi konvensional dengan media kertas dengan transaksi dengan media elektronik (online contract) memiliki peraturan dasar yang sama yaitu pilar hukum perjanjian. Dapat dikatakan bahwa apa yang berlaku pada transaksi konvesional, secara mutatis mutandis berlaku pula pada transaksi online sekalipun transaksi online itu bersifat non sign, paperless, maupun non face namun tetap merupakan suatu conditie sine quo non yaitu sebagai akibat perbuatan manusia melalui media elektronik/Internet, dimana hal-hal seperti penawaran, penerimaan, kesepakatan, dan lain-lain tetap tergambar secara transparan dalam transaksi. Namun di dalam prakteknya, seringkali disalahpahami oleh masyarakat awam bahwa transaksi dagang harus dilakukan secara “hitam di atas putih” atau di atas kertas (paper based) dan bertanda tangan serta bermaterai. Padahal hal tersebut sebenarnya adalah dimaksudkan agar lebih mempunyai nilai pembuktian saja secara formil tetapi tidak mengesampingkan hubungan hukum materil dari transaksi itu sendiri.
Dalam lingkup ilmu komunikasi dan teknologi sistem komuniksasi, keberadaan transaksi dapat dipahami sebagai suatu perikatan ataupun hubungan hukum antarpihak yang dilakukan dengan cara saling bertukar informasi untuk melakukan perdagangan, sehingga dalam perkembangannya dewasa ini, perlu diinsyafi bahwa transaksi secara elektronik atau online contract sebenarnya adalah perikatan atau hubungan hukum yang dilakukan secara elektronik dengan memadukan jaringan (networking) dari sistem informasi berdasarkan komputer (computer based information system) dengan sistem komunikasi yang berdasarkan atas jaringan dan jasa telekomunikasi (telecommunication based) yang selanjutnya difasilitasi oleh keberadaan jaringan komputer global Internet (network of network). Oleh sebab itu, syarat sahnya perjanjian juga akan tergantung pada esensi dari sistem elektronik itu sendiri. Perjanjian itu dapat dikatakan sah bila dapat dijamin bahwa semua komponen dalam sistem elektronik tersebut dapat dipercaya (reliable) dan berjalan sebagaimana mestinya.
Legalitas suatu transaksi dalam Pasal 1320 KUHPerdata Indonesia harus memenuhi 4(empat) syarat yaitu; sepakat, kecakapan, suatu hal tertentu, dan suatu sebab yang halal. Hal ini pun dianut dalam transaksi e-commerce apabila ingin dikatakan bahwa transaksi tersebut sah secara hukum. Jika memang pembeli tertarik untuk membeli suatu barang maka pembeli tersebut hanya perlu meng-klik barang yang sesuai keinginannya yang terdapat dalam toko virtual pada suatu website. Biasanya setelah pesanan tersebut diterima oleh penjual (merchant), maka penjual akan mengirim e-mail atau telepon untuk mengkonfirmasi pesanan tersebut kepada konsumen, sehingga tidak perlu lagi diragukan bahwa proses penerimaan dan penawaran tersebut telah menciptakan suatu kesepakatan. Sebagai bahan pertimbangan dan perbandingan, Masyarakat Eropa melalui Parlemen dan Dewan Uni Eropa telah menerbitkan Garis Arahan (richtlijn) bagi negara-negara anggotanya dalam mengatasi persoalan mengenai kapan sebuah kontrak dalam e-commerce secara hukum mengikat. Richtlijn tersebut mengharuskan adanya 3 (tiga) klik dalam sebuah transaksi e-commerce. Klik pertama, calon pembeli melihat tampilan penawaran dalam layar komputer. Klik kedua mengharuskan calon pembeli untuk merespon dengan penerimaan atas tawaran tersebut. Klik ketiga mensyaratkan adanya persetujuan dari penjual (merchant) atas adanya penerimaan dari calon pembeli.
 Menyangkut masalah pembuktian dalam transaksi e-commerce, dalam Pasal 1866 KUHPerdata Indonesia juga telah diatur mengenai alat-alat bukti antara lain bukti tertulis/surat. Hal inipun dapat disetarakan dengan e-mail ataupun bukti tertulis secara elektronik lainnya. Berkenaan dengan bukti surat, sebagaimana diatur dalam Pasal 1904 KUHPerdata Indonesia, dikenal Akte Autentik dan Akte Bawah Tangan (onderhands). Kekuatan pembuktian dengan akte autentik adalah lebih kuat jika dibandingkan dengan akte di bawah tangan karena mempunyai kekuatan pembuktian formil, pembuktian mengikat, dan pembuktian keluar. Hal ini dikuatkan dalam Pasal 1905 KUHPerdata Indonesia yang mengatur bahwa akte autentik adalah akte yang dibuat menurut undang-undang, oleh atau di hadapan seorang pegawai umum yang berwenang di tempat tersebut.
Berdasarkan hal tersebut, jika dicermati lebih lanjut keberadaan suatu informasi yang dihasilkan oleh suatu sistem informasi elektronik adalah bersifat netral. Artinya sepanjang sistem tersebut berjalan baik tanpa gangguan, maka data yang dihasilkan pun akan terlahir sebagaimana mestinya. Oleh karenanya, suatu surat elektronik yang dihasilkan oleh suatu sistem informasi elektronik yang telah dilegalisir atau dijamin oleh badan/instansi tertentu yang diperuntukkan untuk itu di dalam media internet (lembaga Certification Authority, misalnya Verysign, Mountain View, dll.), jika tetap berjalan sebagaimana mestinya, maka dapat diterima sebagaimana layaknya akte autentik dan bukan akte di bawah tangan. Hal ini mengingat bahwa keberadaan dokumen tersebut semestinya tidak dapat disangkal lagi (non repudiation) dan dengan sendirinya mempunyai kekuatan hukum mengikat dari para pihak tersebut. Suatu hal yang dapat di simpulkan dari uraian diatas adalah:
a)      Keabsahan dari suatu akte elektronik merupakan sesuatu yang tidak perlu diragukan lagi;
b)     Sifat tertulis dari akte elektronik juga terpenuhi; dan
c)      Keabsahan tanda tangan elektronik maupun tandatangan digital pun teruji.
Dari pembahasan-pembahasan di atas, maka seharusnya dapat diasumsikan bahwa kekuatan pembuktian dari akte elektronik dapat diperlakukan sama dengan akte yang non elektronis sepanjang dipenuhinya syarat-syarat tertentu, hal itupun masih harus disertai dengan beberapa catatan.
Kekuatan akte elektronik sebagai alat bukti sebenarnya juga telah didukung (melalui penafsiran) oleh berbagai peraturan perundang-undangan nasional yang sekarang berlaku, antara lain:
a)      Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan, yang secara tegas menyebutkan bahwa dokumen perusahaan yang telah dimuat dalam microfilm atau media lainnya dan atau hasil cetaknya merupakan alat bukti yang sah;
b)     Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, di mana surat termasuk dalam salah satu alat bukti;
c)      Undang-undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang menegaskan bahwa alat bukti pemeriksaan tindak pidana pencucian uang berupa informasi yang disimpan secara elektronik atau yang terekam secara elektronik;
d)     Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang menyatakan bahwa alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk, khusus untuk tindak pidana korupsi juga dapat berupa alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima atau disimpan secara elektronik; dan lain-lain.
Chasiany R. Tandjung, Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, menyatakan:
“Hukum Indonesia secara khusus belum mengatur tentang pelanggaran di Internet, sehingga penafsiran dan analogi oleh para hakim terhadap perangkat peraturan perundang-undangan yang ada sangat dibutuhkan agar tidak terjadi kekosongan dalam hukum Indonesia.” (wawancara tanggal 10 Juni 2004)
Demikian pula dengan penjelasan Zulkifli, staf hukum Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, juga menjelaskan sebagai berikut:
“Walaupun tetap diperlukan suatu perangkat peraturan perundang-undangan khusus untuk mengatur pelanggaran di Internet, tidak boleh seorang hakim menolak memeriksa suatu perkara yang berkaitan dengan masalah tersebut. Akan tetapi hakim yang bersangkutan wajib melakukan suatu pendekatan hukum melalui aturan hukum yang telah ada dengan tetap mempertimbangkan asas-asas hukum yang berlaku di Indonesia.” (wawancara tanggal 10 Juni 2004)
Seiring dengan perkembangan teknologi saat ini, hal-hal yang menyangkut kekuatan pembuktian menggunakan surat elektronik ini telah pula diakui dan diterima keabsahannya. Hal ini sesuai dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 27 PK/Pid/2003 tertanggal 4 Juli 2003 dalam kasus “Mustika Ratu” yang pada intinya menyatakan bahwa surat faksimile ataupun surat-surat elektronik lainnya dapat dijadikan sebagai alat bukti di persidangan sepanjang surat tersebut dapat ditunjukkan aslinya dan telah dilegalisir oleh pejabat yang berwenang.

B.      Perlindungan konsumen Indonesia dalam transaksi e-commerce di Internet
          Konsumen dalam transaksi e-commerce memiliki risiko yang lebih besar daripada penjualnya (merchant), atau dengan kata lain bahwa hak-hak konsumen dalam transaksi e-commerce sangat rentan dan riskan. Dengan diberlakukannya Undang-undang Republik Indonesia No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang menjadi pertanyaan sekarang adalah dapatkah undang-undang perlindungan konsumen tersebut diterapkan dalam transaksi e-commerce.
          Dalam diskusi ilmiah tentang Pengembangan Cyberlaw di Indonesia dan kesiapan peraturan perundang-undangan di Indonesia dalam mengantisipasi kegiatan e-commerce, yang diadakan di Kampus Universitas Padjadjaran tanggal 3 Juni 2000 disimpulkan beberapa hal yang menyebabkan tansaksi e-commerce sangat riskan, yaitu:[51]
1.     Tidak ada jaminan keselamatan dan keamanan dalam mengkonsumsi barang dan jasa. Hal ini disebabkan para konsumen tidak dapat langsung mengidentifikasi, melihat, dan menyentuh barang yang akan dipesan melalui internet sebagaimana yang biasa terjadi pada pasar konvensional;
2.     Tidak ada kepastian apakah konsumen telah memperoleh informasi yang dibutuhkan dalam bertransaksi sebab informasi yang tersedia dibuat secara sepihak oleh penjual/produsen tanpa ada kemungkinan konsumen melakukan verifikasi;
3.     Tidak terlindunginya hak-hak konsumen untuk mengeluh, mengadu, atau memperoleh kompensasi. Hal ini dikarenakan transaksi melalui internet dilakukan tanpa face to face, maka ini membuka peluang tidak teridentifikasinya penjual/produsen tersebut. Bisa saja penjual/produsen hanya mencantumkan alamat yang tidak jelas atau sekadar alamat e-mail saja yang tidak terjangkau dalam dunia nyata. Akibatnya, bila terjadi keluhan maka konsumen akan kesulitan menyampaikan keluhannya. Selain itu dapat juga keluhan konsumen tidak ditanggapi mengingat sulitnya menuntut penjual/produsen di dunia virtual;
4.     Dalam transaksi pembayaran melalui e-commerce, biasanya konsumen (pembeli) harus terlebih dahulu membayar penuh kemudian pesanannya diproses oleh penjual/produsen. Hal ini jelas berisiko tinggi bagi konsumen karena membuka peluang terlambatnya barang yang dipesan atau isi dan mutu barang yang dipesan tidak sesuai pesanan atau bahkan pesanan tidak sampai ke tangan konsumen;
5.     Transaksi e-commerce dapat dilakukan antarnegara. Bila terjadi sengketa, maka akan sulit ditentukan hukum negara mana yang akan dipakai. Dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen Indonesia terdapat kelemahan yang tidak dapat menjangkau e-commerce yang menyangkut mengenai terbatasnya pengertian “Pelaku Usaha” sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 butir 3 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Hal-hal di atas bersesuaian dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis, bahwa perlindungan konsumen yang diatur oleh undang-undang dalam transaksi e-commerce masih sangat lemah.
Putra Kaban, seorang Advokat/Penasihat Hukum senior di Jakarta Pusat, menyatakan sebagai berikut:
“Perlindungan konsumen dalam transaksi e-commerce adalah sangat riskan akan masalah hukum karena undang-undang perlindungan konsumen yang ada belum menjangkau masalah hukum yang ada secara keseluruhan, ditambah sulitnya menentukan konsep penyelesaian hukum yang dapat menguntungkan bagi pihak konsumen.” (wawancara tanggal 31 Mei 2004)
Senada dengan pendapat di atas, Rezki Meirza, seorang Advokat/Konsultan Pajak di Jakarta Selatan, menyatakan sebagai berikut:
“Dapat saja suatu pelanggaran terhadap konsumen Indonesia dalam transaksi e-commerce diberlakukan Undang-undang Perlindungan Konsumen Indonesia tetapi tetap akan sulit pada saat pelaksanaan putusan hukumnya.” (wawancara tanggal 1 Juni 2004)

Berikut ini adalah tabel-tabel yang menggambarkan pendapat responden pengguna jasa internet yang telah melakukan transaksi di internet mengenai keberadaan Undang-undang Perlindungan Konsumen Indonesia dikaitkan dengan masalah-masalah yang terjadi dalam transaksi e-commerce ini.
Tabel 1
Pendapat responden pengguna jasa internet
yang telah melakukan transaksi di internet
N=5
Pendapat
F
Prosentase
Undang-undang Perlindungan Konsumen Indonesia bagus dan efektif
0
0%
Undang-undang Perlindungan Konsumen Indonesia tidak menjangkau masalah-masalah yang ada
5
100%
Lain-lain
0
0
Jumlah
5
100%
Sumber: Hasil Penelitian Lapangan, Juni 2004
Dari tabel di atas, 5 orang responden pengguna jasa internet yang telah melakukan transaksi jual beli di Internet atau 100% dari responden mengindikasikan bahwa undang-undang Perlindungan Konsumen Indonesia secara materil maupun formil belum menjangkau masalah-masalah tentang pelanggaran hak-hak konsumen Indonesia antara lain keamanan transaksi, pertanggungjawaban produsen, penyelesaian sengketa, konsep gantirugi, dan lain-lain.
Tabel 2
Pendapat responden terhadap penggunaan klausula kontrak baku
(clickwrap/shrinkwrap agreement) oleh penjual/produsen
dalam transaksi e-commerce
N=5
Pendapat
F
Prosentase
Berat sebelah karena merugikan pihak pembeli/konsumen
4
80%
Menguntungkan pihak pembeli/konsumen
1
20%
Lain-lain
0
0
Jumlah
5
100%
Sumber: Hasil Penelitian Lapangan, Juni 2004
          Dari data di atas, 4 orang responden atau 80% yang menyatakan bahwa penggunaan klausula kontrak baku (clickwrap/shrinkwrap agreement) yang selama ini selalu digunakan oleh penjual/produsen untuk mengalihkan/menghilangkan sama sekali tanggung jawab yang seharusnya dipikulkan padanya adalah merugikan pihak pembeli/konsumen.
Dari tabel-tabel di atas dapat diasumsikan bahwa perlindungan konsumen Indonesia dalam transaksi e-commerce belumlah terwujud sebagaimana yang diinginkan oleh undang-undang Perlindungan Konsumen itu sendiri, mengingat bahwa masih adanya kendala yang harus ditemui dalam penegakan aturan-aturan tersebut antara lain terbatasnya pengertian dan ruang lingkup berlakunya undang-undang yang termuat dalam undang-undang perlindungan konsumen Indonesia Pasal 1 ayat (3). Namun walaupun demikian, berdasarkan asas Ius Curia Novit yang tertuang dalam ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman, yang menerangkan bahwa hakim dianggap tahu segalanya dan pengadilan tidak boleh menolak mengadili suatu perkara dengan dalih bahwa hukumnya tidak atau kurang jelas malahan justru hakim diwajibkan menggali nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat. Melalui metode analogi maupun interpretasi serta pendekatan hukum atau penemuan hukum (rechtsvinding), diharapkan kendala-kendala yang ada masih mungkin untuk dapat diminimalisir. Meskipun undang-undang Perlindungan Konsumen Indonesia belum menjangkau permasalahan e-commerce secara keseluruhan tetapi untuk penjual/produsen yang jelas alamat dan keberadaannya melakukan wanprestasi, maka penjual/produsen tersebut tetap dapat dituntut menurut hukum.
Sebagai suatu bahan kajian, dalam hal pengertian “Pelaku Usaha” yang dimaksud oleh undang-undang perlindungan konsumen Indonesia, digunakan interpretasi bahwa setiap pelaku usaha walaupun pelaku usaha tersebut tidak berkedudukan di wilayah hukum Republik Indonesia (pelaku usaha asing) tetapi melakukan kegiatan usahanya di dalam internet yang tak mengenal batasan wilayah hukum manapun (borderless), dengan atau tanpa perjanjian kegiatan usaha secara tertulis antarnegara, kemudian telah melakukan transaksi dengan konsumen yang berkedudukan Indonesia, maka dapat diinterpretasikan bahwa pelaku usaha tersebut telah melakukan kegiatan usaha di dalam wilayah hukum Republik Indonesia. Teori ini sejalan dengan asas hukum internasional tentang cara melakukan perbuatan hukum yang diatur dalam Pasal 18 ayat (1) Algemeene Bepalingen van Wetgeving (AB) yaitu:[52]
“Cara tiap perbuatan hukum ditinjau menurut peraturan undang-undang (hukum) dari negara atau tempat, di mana perbuatan hukum itu dilakukan”.
Dengan kata lain, apabila seorang konsumen Indonesia yang berada di Indonesia akan melakukan transaksi e-commerce di internet kemudian meng-klik suatu website yang menawarkan suatu produk di internet, maka dengan sendirinya dapat dianggap bahwa website tersebut telah melakukan kegiatan usaha di wilayah yurisdiksi Indonesia sehingga perbuatan hukum yang terjadi pun harus tunduk pada ketentuan peraturan perundang-undangan Republik Indonesia tidak peduli apakah produsen itu berasal dari wilayah hukum negara/kewarganegaraan manapun.[53]
Upaya-upaya lain yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya pelanggaran hak-hak konsumen dalam transaksi e-commerce adalah terlebih dahulu memeriksa latar belakang yuridis website atau badan usaha/toko online tempat pembeli/konsumen akan bertransaksi sebelum bertransaksi termasuk wajib mendapatkan informasi sejelas-jelasnya mengenai spesifikasi dan kualitas produk/barang yang akan dibeli, misalnya mencermati isi dari clickwrap/shrinkwrap agreement yang diajukan oleh penjual/produsen. Hal ini untuk mengantisipasi agar jangan sampai syarat-syarat perjanjian tersebut (terms of conditions) justru merugikan kepentingan pembeli/konsumen sendiri antara lain mewajibkan pihak penjual/produsen memberikan ganti rugi dan jaminan (warranty) yang dapat berupa return policy yaitu pengembalian barang diikuti dengan pengembalian pembayaran secara penuh (full refund) dan jaminan bahwa barang yang akan dikirim tidak akan salah alamat atau tidak sampai yaitu dengan fasilitas order tracking serta shipping tracking yang dapat melacak sampai tahap mana barang pesanan tersebut dalam proses pengiriman; dan hal-hal lain yang dianggap perlu demi keamanan dan keselamatan konsumen sendiri.

C.      Penyelesaian sengketa antara konsumen Indonesia dan pelaku usaha terhadap transaksi e-commerce di Internet
          Berdasarkan data yang diperoleh dari penelitian lapangan, baik yang dilakukan di YLKI maupun Deperindag RI, bahwa sampai saat ini pengaduan atas kerugian yang dialami konsumen yang menyangkut masalah internet yang masuk dan ditangani oleh YLKI hanyalah sebatas hal-hal yang menyangkut ketidaksempurnaan pelayanan Penyedia Jasa Internet (ISP) terhadap akses internet yang dilakukan oleh konsumen dalam hal ini akses masuk dan kecepatan selama menggunakan internet.[54]
Tetapi walaupun demikian, apabila terjadi pelanggaran atas hak-hak konsumen sebagaimana yang telah dipaparkan dalam pembahasan sebelumnya dengan tetap merujuk asas-asas hukum dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku maka penyelesaian sengketa antara konsumen Indonesia dan pelaku usaha terhadap transaksi e-commerce di Internet tetap dapat diproses hukum sebagaimana mestinya.
Untuk pelaku usaha (penjual/produsen) yang berada dalam ruang lingkup wilayah Republik Indonesia, melalui ketentuan Pasal 45 ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, penyelesaian sengketa konsumen dapat dilakukan melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui lembaga peradilan umum. Pada ayat (2), penyelesaian sengketa juga dapat ditempuh melalui pengadilan atau luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela dari pihak yang bersengketa. Penyelesaian sengketa konsumen melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha yaitu setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Indonesia atau dengan semacam Small Claim Court atau sebuah lembaga penyelesaian perkara perdata (civil claims) berskala kecil dengan cara sederhana, cepat, dan biaya murah yang disediakan untuk itu.[55] Penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan yaitu pihak konsumen yang dirugikan dapat mengajukan gugatan melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum sedangkan Penyelesaian sengketa konsumen melalui luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela dari pihak yang bersengketa. Pihak konsumen yang dirugikan dapat memilih cara penyelesaian sengketa yang diatur dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR) melalui konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli, dan sebagainya baik yang bersifat The binding adjudicative procedure maupun The nonbinding adjudicative procedure.
          Untuk pelaku usaha yang berada di luar wilayah Republik Indonesia, maka tergantung dari perjanjian antara para pihak. Jadi yang berlaku disini adalah prinsip pilihan hukum (choice of law). Oleh karena itu jika gugatan ditujukan pada penjual/produsen yang ada di luar negeri, maka gugatan diajukan ke negara yang bersangkutan dengan menggunakan ketentuan hukum perdata internasional seperti perjanjian, yurisprudensi, dan lain-lain.

BAB V
PENUTUP
A.   Simpulan
Dari pembahasan sebelumnya, maka dapat diuraikan satu persatu simpulan mengenai penulisan tesis ini, yaitu:
1.     Keberadaan ketentuan-ketentuan hukum mengenai perjanjian yang diatur dalam pasal-pasal KUHPerdata sebenarnya tetap valid bagi transaksi e-commerce karena ketentuan tersebut tetap akan mencakup semua media apa saja yang digunakan untuk melakukan transaksi, baik dengan media kertas (paper based) maupun dengan media sistem elektronik (electronic based). Apa yang berlaku pada transaksi konvesional, secara mutatis mutandis berlaku pula pada transaksi online termasuk dalam Hukum Pembuktian.
2.     Perlindungan konsumen yang diatur oleh Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dalam transaksi e-commerce masih sangat lemah. Hal ini disebabkan masih adanya kendala yang harus ditemui dalam penegakan aturan tersebut. Tetapi walaupun demikian, melalui metode analogi maupun interpretasi serta pendekatan hukum atau penemuan hukum (rechtsvinding), diharapkan kendala-kendala yang ada masih mungkin untuk dapat diminimalisir dengan tetap mempertimbangkan aspek-aspek hukum yang berlaku.
3.     Untuk pelaku usaha (penjual/produsen) yang berada dalam ruang lingkup wilayah Republik Indonesia, melalui ketentuan Undang-undang Perlindungan Konsumen Indonesia, penyelesaian sengketa konsumen dapat dilakukan melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui lembaga peradilan umum. Penyelesaian sengketa juga dapat ditempuh melalui pengadilan atau luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela dari pihak yang bersengketa. Sedangkan untuk pelaku usaha yang berada di luar wilayah Republik Indonesia, tergantung dari perjanjian antara para pihak. Sehingga yang berlaku disini adalah prinsip pilihan hukum (choice of law) dan teori-teori hukum perdata Internasional.

B.   Saran
1.     Melalui pendekatan secara penafsiran dan analogi terhadap hukum dan perundang-undangan yang berlaku (existing laws) atas masalah-masalah hukum yang timbul dalam hukum kontrak sehubungan dengan transaksi e-commerce ini setidak-tidaknya dapat memberikan sedikit solusi yang walaupun tidak tuntas dan mungkin masih jauh dari apa yang diharapkan paling tidak hal ini dapat memberi sumbangan berupa beberapa gagasan dan pemikiran untuk mengisi kekosongan hukum yang ada. Hal ini setidak-tidaknya telah membuktikan bahwa aturan hukum dan perundang-undangan kita masih mampu meng-cover permasalahan tersebut. Sebaiknya yang perlu dilakukan lebih lanjut agar permasalahan-permasalahan hukum yang timbul tetap dapat diambil keputusan yang adil dan dapat dipertanggungjawabkan, khususnya kepada para penegak hukum terutama para hakim, adalah menyesuaikan aturan hukum dan perundangan-undangan yang berlaku dengan perkembangan zaman sembari tetap menunggu lahirnya undang-undang khusus di bidang Cyber Law.
2.     Hendaknya Pembeli/konsumen dalam melakukan transaksi harus lebih cermat dan teliti dalam membaca dan mencari tahu mengenai penjual/produsen serta sistem keamanan yang disediakan sebelum pembeli/konsumen melakukan transaksi sehingga risiko yang akan dipikul oleh pembeli/konsumen tidak terlalu besar. Penjual/produsen juga diharapkan melengkapi perusahaannya dengan asuransi e-commerce. Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi risiko kerugian apabila terjadi hal-hal yang tak terduga seperti pesan yang tidak sampai pada saat transaksi atau barang yang dipesan rusak dalam perjalanan.
3.     Sedangkan dari pihak pemerintah diharapkan untuk segera menjadi bagian dari perkumpulan masyarakat e-commerce global, seperti yang telah dilakukan oleh negara-negara maju lainnya, dan menyediakan perangkat peraturan internasional yang khusus mengatur hal-hal mengenai transaksi e-commerce dalam kaitannya dengan perlindungan konsumen yang antara lain memuat aturan tentang identifikasi produsen dan konsumen, format dasar kontrak, mekanisme pengaduan konsumen, dan kerahasiaan konsumen. Selain itu, perlu dibentuk suatu badan khusus yang bertugas mengawasi dan mengaudit transaksi e-commerce ini khususnya perlindungan konsumen tidak saja dari sisi teknologi dan bisnis tetapi juga dari sisi hukumnya. []

DAFTAR PUSTAKA
Aaron, David. Diakses pada 8 Desember 2003. The International Trade Administration in Changing Times. Di http://www.ecommerce.gov
Abu Bakar Munir. 18 September 2002. Introduction to Legal Issues in E-Commerce. Bahan paparan pada Internet Banking Workshop. Jakarta.
Agus Raharjo. 2002. Cybercrime: Pemahaman dan Upaya Pencegahan Kejahatan Berteknologi. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung.
Ahmadi Miru. 2000. Prinsip-prinsip Perlindungan Hukum bagi Konsumen Indonesia. Disertasi tidak diterbitkan. Program Doktor Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Airlangga. Surabaya.
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo. 2004. Hukum Perlindungan Konsumen. PT. RajaGrafindo Persada. Jakarta.
Arsyad Sanusi, M. 2001. E-Commerce: Hukum dan Solusinya. PT. Mizan Grafika Sarana. Bandung.
Asril Sitompul. 2001. Hukum Internet: Pengenalan mengenai Masalah Hukum di Internet. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung.
Bambang Sunggono. 2003. Metode Penelitian Hukum. PT. RajaGrafindo Perkasa. Jakarta.
Barita Saragih. 9 Juli 2000. Tantangan Hukum atas Aktivitas Internet. Artikel Harian Kompas. Jakarta.
Black, Henry Campbell. 1991. Black’s Law Dictionary. West Publishing Co. Sixth edition. USA.
Chidir Ali, Moch., et.al. 1993. Pengertian-pengertian Elementer Hukum Perjanjian Perdata. Penerbit Mandar Maju. Bandung.
Davidson, Daniel V. et.al. 1987.  Comprehensive Business Law II: Principles and Cases. Kent Publishing. Boston.
De Zwart, Melissa. Diakses pada 8 Desember 2003. Electronic Commerce: Promises, Potential, and Proposals. UNSW Law Journal. Di http://www.unsw.com.au/lawjournal.html
Edmon Makarim. 2003. Kompilasi Hukum Telematika. PT. RajaGrafindo Perkasa. Jakarta.
Epstein, David G. and Steve H. Nickles. 1991. Consumer Law (Nutshell series). West Publishing Co. Second edition. USA.
Erman Rajagukguk. et.al. 2000. Hukum Perlindungan Konsumen. Penerbit Mandar Maju. Bandung.
Gautama, S. 1987. Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia. Penerbit Binacipta. Bandung.
Gunawan Wijaya dan Ahmad Yani. 2001. Hukum Tentang Perlindungan Konsumen. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Hasanuddin Rahman. 2003. Contract Drafting: Seri Keterampilan Merancang Kontrak Bisnis. PT. Cipta Aditya Bakti. Bandung.
Heru Soepraptomo. 2001. Kejahatan Komputer dan Siber serta Antisipasi Pengaturan Pencegahannya di Indonesia. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung.
Ida Bagus Wyasa Putra. September 2000. Aspek-aspek Hukum Perdata Internasional dalam Transaksi Bisnis Internasional. PT. Refika Aditama. Bandung.
Imam Sjahputra. 2002. Problematika Hukum Internet Indonesia. PT. Prenhallindo. Jakarta.
Imran Nating. Diakses pada 11 Nopember 2003. Pemahaman tentang Kontrak (Dimensi Nasional dan Internasional). Artikel di http://www.solusihukum.com
__________. Diakses pada 15 Desember 2003. Perlindungan Konsumen dengan Product Liability. Artikel di http://www.solusihukum.com/Artikel/html.
Johannes Gunawan. 1994. Product Laibility dalam Hukum Bisnis Indonesia. Majalah Hukum Pro Justitia tahun XII Nomor 2 April 1994. Universitas Katolik Parahyangan Bandung.
Johannes Ibrahim dan Lindawaty Sewu. Januari 2004. Hukum Bisnis: Dalam Persepsi Manusia Modern. PT. Refika Aditama. Bandung.
Kansil, C.S.T. 1994. Pokok-pokok Pengetahuan Hukum Dagang Indonesia (Buku Kesatu). Sinar Grafika. Jakarta.
Mardjono Reksodipuro. 28 Juli 2003. Cybercrime and Intellectual Property. Bahan paparan pada penataran Nasional Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (ASPEHUPIKI) di Fakultas Hukum Surabaya.
Mariam Darus Badrulzaman. 2001. Kontrak Dagang Elektronik (Tinjauan dari Aspek Hukum Perdata). PT. Citra Aditya Bakti. Bandung.
__________. 1986. Perlindungan terhadap Konsumen dilihat dari Sudut Perjanjian Baku (Standar). BPHN. Bahan Simposium Aspek-aspek Hukum Perlindumgam Konsumen. Bina Cipta. Bandung.
Masri Singarimbun, et.al. 1985. Metode Penelitian Survai. Penerbit LP3ES. Jakarta.
McCullaghi, Adrian, et.al. Diakses pada 8 Desember 2003. Electronic Signatures: Understanding The Past to Developte Future. UNSW Law Journal. Di http://www.unsw.com.au/lawjournal.html
Miller, C.J. (edt.) 1986. Comparative Product Liability. United Kingdom Comparative Law Series Vol. 6. The British Institute of International and Comparative Law.
Munir Fuadi. 2001. Hukum Kontrak: dari Sudut pandang Hukum Bisnis (Buku Kesatu). PT. Citra Aditya Bakti. Bandung.
__________. 2003. Hukum Kontrak: dari Sudut pandang Hukum Bisnis (Buku Kedua). PT. Citra Aditya Bakti. Bandung.
Nana Sudjana. 1995. Metode Penelitian. Rajawali Press. Jakarta.
Onno W. Purbo dan Aang Arif Wahyudi. 2001. Mengenal E-Commerce. PT. Elex Media Komputindo. Jakarta.
Phillips, Jerry J. 1993. Product Liability (Nutshell series). West Publishing Co. Fourth edition. USA.
Reed, Chris. Diakses pada 8 Desember 2003. What is Signature: Journal of Information Law and Technology. Di http://www.jilt.com/archives.html
Retnowulan Sutantio, et.al. 1989. Hukum Acara Perdata dalam Praktek. Penerbit Mandar Maju. Bandung.
Richardus Eko Indrajit. 2001. e-Commerce: Kiat dan Strategi Bisnis di Dunia Maya. PT. Elex Media Komputindo. Jakarta.
__________. 2002. Konsep dan Aplikasi e-Business. Penerbit ANDI. Yogyakarta.
Ridwan Khairandy. 2003. Iktikad baik dalam Kebebasan Berkontrak. Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Jakarta.
Riyeke Ustadiyanto. 2001. Framework e-Commerce. Penerbit ANDI. Yogyakarta.
Salim H.S. 2003. Hukum Kontrak: Teori & Teknik Penyusunan Kontrak. Penerbit Sinar Grafika. Jakarta.
Satrio, J. 2001.  Hukum Perikatan: Perikatan yang Lahir dari Perjanjian (buku I dan II). PT. Citra Aditya Bakti. Bandung.
Shippey, Karla C. 2001.  Menyusun Kontrak Bisnis International. PPM. Jakarta.
Soerjono Soekanto. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Penerbit UI Press. Jakarta.
Subekti, R. 1990. Hukum Perjanjian. PT. Intermasa. Jakarta.
__________. 1994. Pokok-pokok Hukum Perdata. PT. Intermasa. Jakarta.
__________. 2001. Hukum Pembuktian. Pradnya Paramita. Jakarta.
Suharnoko. 2004. Hukum Perjanjian: Teori dan Analisa Kasus. Prenada Media. Jakarta.
Supancana, I.B.R.  24 Oktober 2001. Kerangka Regulasi dalam Menata Internet Banking di Indonesia. Centre for Regulatory Research. Jakarta.
__________. 2 Maret 2003. Kekuatan Akte Elektronis sebagai Alat Bukti pada Transaksi E-Commerce dalam Sistem Hukum Indonesia. Materi Kuliah Umum pada Program Magister Teknologi Informasi. Universitas Indonesia (UI). Jakarta.
Sutan Remy Sjahdeini. 2001. E-Commerce, Tinjauan dari Perspektif Hukum. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung.
__________. 2001. Hukum Siber (Sistem Pengamanan & Commerce). PT. Citra Aditya Bakti. Bandung.
Tebbens, Harry Duintjer. 1980. International Product Liability (A Study of Comparative and International Legal Aspects of Product Liability). Sijthoff & Noordhoff International Publisher. Alphen Aan Den Rijn, The Netherland.
Wirjono Prodjodikoro, R. 1986. Asas-asas Hukum Perdata Internasional. PT. Bale. Bandung.
Wisnubroto, Al., et.al. 2003. Panduan Sukses Berperkara: Penyelesaian Efektif Sengketa Konsumen. Penerbit PIRAC berkerjasama dengan The Asia Foundation. Jakarta.
Yan Pramadya Puspa. 1977. Kamus Hukum: Edisi Lengkap Bahasa Belanda, Indonesia, dan Inggris. Penerbit Aneka Ilmu. Semarang.
Yusuf Shofie. 2002. Pelaku Usaha, Konsumen, dan Tindak Pidana Korporasi. Penerbit Ghalia Indonesia. Jakarta.
__________. 2003. Penyelesaian Sengketa Konsumen menurut Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK): Teori dan Praktek penegakan hukum. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung.

bÿÿÿa












[1].     Tesis sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar Magister Ilmu Hukum Keperdataan Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin Makassar tahun 2004.
[2].    Kutipan tulisan dari Barita Saragih, hakim asisten Wakil Ketua Mahkamah Agung kandidat doktor di Leiden Universiteit Belanda, pada Harian Kompas (Jakarta), Minggu 09 Juli 2000 yang berjudul “Tantangan Hukum atas Aktivitas Internet”.
[4].    Survei menunjukan 88,4% responden pengguna pribadi mengetahui pembelian melalui internet, namun hanya 16,3% di antaranya menggunakan internet sebagai sarana perdagangan. Kesimpulan riset yang dilakukan PT. Pasifik Rekan Prima dengan Mc Kinsey & Company Satelindo dan APJII dalam Bisnis Indonesia (Jakarta), 27 Nopember 2000.
[5].    Diakses dalam artikel Susan Kuchinskas tanggal 2 Desember 2003 di http://www.jma.com.au.artikel.html yang menyatakan: According to a survey released today by nonprofit Web security certification organization TRUSTe, fears related to consumer privacy will have a significant negative impact on online shopping during the 2003 holiday season. A full 49 percent of survey respondents said that fears related to the misuse of personal information will limit their holiday online shopping to some extent, including 5.6 percent who indicated that they will not shop online at all this year due to their concerns”.
“Consumers are both smart and needing some help,” said TRUSTe executive director Fran Maier. “They're smart that they know they ought to be looking for a seal or a privacy statement [on e-commerce sites] and that they should be careful about the information they offer. At the same time, they do give away their information for too little in return.”
“Smaller e-commerce players that don't post a privacy policy will lose sales, according to TRUSTe. Of the fearful 49 percent of survey respondents, the three leading reasons for reducing or halting online shopping were concerns about receiving unwanted spam after purchasing a product, a fear of identity theft and the potential for credit card information to be stolen when making a purchase from a Web site”.
[6].    Riyeke Ustadiyanto: Framework e-Commerce, penerbit ANDI, 2001, Yogyakarta, hlm. 2
[7].    Dikutip dari Agus Raharjo: Cybercrime, PT. Citra Aditya Bakti, 2002, Bandung, hlm. 60 bahwa The Federal Networking Council (FNC) memberikan definisi mengenai internet dalam resolusinya tanggal 24 Oktober 1995. Definisi yang diberikan adalah sebagai berikut:
Internet refers to the global information system that –
(i)    is logically linked together by a globally unique address space based in the Internet Protocol (IP) or its subsequent extensions/follow-ons ;
(ii)   is able to support communications using the Transmission Control Protocol/Internet Protocol (TCP/IP) suite or its subsequent extension/follow-ons, and/or other Internet Protocol (IP)-compatible protocols ; and
(iii)  Providers, uses or makes accessible, either publicly or privately, high level services layered on the communications and related infrastructure described herein.
[8].    Asril Sitompul: Hukum Internet (Pengenalan mengenai Masalah Hukum di Cyberspace), PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hlm. 7.
[9].    Onno W. Purbo dan Aang Arif Wahyudi: Mengenal eCommerce, PT. Elex Media Komputindo, 2001, Jakarta, hlm. 2.
[10]. Diakses dari artikel Akis (Cossack) tanggal 3 Oktober 2003 di http://www.jma.com.au.artikel.html
[11]. Melissa de Zwart, diakses pada 8 Desember 2003, “Electronic Commerce: Promises, Potential, and Proposals”, UNSW Law Journal, di http://www.unsw.com.au/lawjournal.html

[12].  Salim H.S.: Hukum Kontrak (Teori & Teknik Penyusunan Kontrak), penerbit Sinar Grafika, 2003, Jakarta, hlm. 48.
[13]. M. Arsyad Sanusi: E-Commerce (Hukum dan Solusinya), PT. Mizan Grafika Sarana, 2001, Jakarta, hlm. 64.
[14]. Edmon Makarim: Kompilasi Hukum Telematika, PT. RajaGrafindo Perkasa, 2003, Jakarta, hlm. 230.
[15]. Ibid, hlm. 125
[16]. R. Subekti, Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta, 1990, hlm. 13.       
[17].  Prinsip ini awalnya ditemukan dalam Hukum Kanonik yaitu Dekrit-dekrit Paus Gregorius IX yang berbunyi Pacta Nuda Servanda Sunt (semua persetujuan betapapun ini tak terwujud harus dipenuhi). Johannes Ibrahim dan Lindawaty Sewu, Hukum Bisnis: Dalam Persepsi Manusia Modern, PT. Refika Aditama, 2004, Jakarta, hlm. 52.
[18]. Hasanuddin Rahman: Contract Drafting (Seri Keterampilan Merancang Kontrak Bisnis), PT. Citra Aditya Bakti, 2003, Bandung, hlm. 9.
[19]. Dikutip dari Daniel V. Davidson, et,al: Comprehensive Business Law II (Principles and Cases), Kent Publishing, 1987, Boston, hlm. 155 yang menyatakan: “Agreement is the essence of a contract. Once there has been a valid offer by the offeror (the person making the offer) and a valid acceptance by the offeree (the person to whom the offer is made), we are well on our way to having a legally binding contract, because there are generally few problems with consideration, capacity, legality, genuine assent, and proper form, the remaining requirements for a contract.”
[20]. I.B.R. Supancana, 2 Maret 2002, “Kekuatan Akte Elektronis sebagai Alat Bukti pada Transaksi E-Commerce dalam Sistem Hukum Indonesia”, Materi Kuliah Umum pada Program Magister Teknologi Informasi, Universitas Indonesia (UI), Jakarta.

[21]. Edmon Makarim: op. cit., hlm. 247.
[22]. Ibid.
[23].  Lihat juga pengertian “sebab yang halal” menurut Daniel V. Davidson yang menyatakan: … a bargain is illegal if its performance is criminal, tortious, or otherwise opposed to public policy.
[24]. Salim H.S., op.cit., hlm. 98-99.
[25]. Abu Bakar Munir:, “Introduction to Legal Issues in E-Commerce”, bahan paparan pada Internet Banking Workshop tanggal 18 September 2002 di Jakarta.
[26]. Asril Sitompul: op. cit., hlm. 42.
[27]. I.B.R. Supancana, loc. cit.

[28]. Asril Sitompul: op. cit., hlm. 48-49.
[29]. Subekti: Pokok-pokok Hukum Perdata, PT. Intermasa, Jakarta, 1994, hlm. 178
[30]. I.B.R. Supancana, loc.cit.
[31]. Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata: Hukum Acara Perdata dalam Praktek, penerbit Mandar Maju, Bandung, 1989, hlm. 56.

[32]. Mariam Darus Badrulzaman: Perlindungan terhadap Konsumen dilihat dari Sudut Perjanjian Baku (Standar), BPHN, bahan Simposium Aspek-aspek Hukum Perlindumgam Konsumen, Bina Cipta, Bandung, 1986, hlm. 56.
[33]. Henry Campbell Black: Balck’s Law Dictionary, West Publishing Co., sixth edition, USA, 1991, hlm. 311.

[34]. Gunawan Widjaya dan Ahmad Yani: Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001, hlm. 27.
[35]. Ibid.
[36]. Ahmadi Miru: Prinsip-prinsip Perlindungan Hukum bagi Konsumen Indonesia, Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya, 2000, hlm. 130-131.

[37]. Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo: Hukum Pelindungan Konsumen, PT. RajaGrafindo Persada, 2004, Jakarta, hlm. 160-161.
[38]. Henry Campbell Black: op.cit., hlm. 1089.
[39]. Diakses pada 15 Desember 2003 dalam artikel Imran Nating: Perlindungan Konsumen dengan Product Liability, di http://www.solusihukum.com/artikel/html.
[40]. Ibid.
[41]. Ibid.
[42]. Ibid.
[43]. Johannes Gunawan: “Product Liability dalam Hukum Bisnis Indonesia”, Majalah Hukum Pro Justitia tahun XII Nomor 2 April 1994, Universitas Katolik Parahyangan Bandung, hlm. 6.
[44]. Ibid.
[45]. Imran Nating: loc. cit.
[46]. Munir Fuadi: Hukum Kontrak: dari Sudut pandang Hukum Bisnis (Buku Kesatu), PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hlm. 139-141.

[47]. Salim H.S.: op. cit., hlm. 140-162.
[48].  Bambang Sunggono: Metode Penelitian Hukum, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2003, hlm. 121-123.
[49]. Nana Sudjana: Metode Penelitian, Rajawali Press, Jakarta, 1995.

[50]. Moh. Nazir: Metode Penelitian, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1998.

[51]. Didi I. Syamsuddin, “Konsumen E-Commerce dan Perlindungan Hukum”, Suara Pembaharuan edisi 10 Juli 2000, hlm. 5.
[52]. Wirjono Prodjodikoro: Asas-asas Hukum Perdata Internasional, PT. Bale, 1986, Bandung, hlm. 101.
[53].  Teori ini dapat dihubungkan dengan teori The Uploader and Downloader. Berdasarkan teori ini, Uploader adalah pihak yang memasukkan informasi ke dalam suatu lokasi (cyberspace), sedangkan Downloader adalah pihak yang mengakses informasi. Hukum yang berlaku adalah tempat di mana pengakses informasi tersebut berasal. Edmon Makarim, op.cit, hlm. 369.

[54]. Pengaduan Konsumen yang masuk ke YLKI,  Nomor 2/II/LS/2000.
[55]. Small Claim Court pada umumnya hanya terdapat di negara-negara yang memiliki latar belakang tradisi hukum common law.