Senin, 30 Agustus 2010

"Quo Vadis Peradilan Administrasi Indonesia?"


Quo Vadis Peradilan Administrasi Indonesia?
Oleh: Andi Muh. Ali Rahman, SH.,MH.

M
enyongsong lahirnya undang-undang Administrasi Pemerintahan, yang saat ini masih dalam tahap rancangan yang disempurnakan dan rencananya akan diundangkan pada akhir tahun ini pula, diharapkan akan menjadi angin segar bagi peradilan administrasi Indonesia. Undang-undang ini nantinya oleh banyak kalangan terutama praktisi hukum pemerintahan diharapkan akan menjadi pelengkap atas Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yaitu sebagai aturan tambahan baik dari segi materil maupun formil. Banyak permasalahan hukum yang mengemuka dalam setiap Rakernas yang dilaksanakan oleh Mahkamah Agung. Sejumlah pengadilan mengajukan pertanyaan yang selama ini menjadi belum jelas penerapannya atau masih menjadi teka-teki bagi para hakimnya. Salah satunya adalah mengenai pelaksanaan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap (eksekusi).

Adapun yang selama ini menjadi panduan apabila terdapat perbedaan penafsiran di kalangan hakim-hakim atau terjadi kendala dalam praktik di lapangan adalah Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Tata Usaha Negara buku II yang diterbitkan oleh Mahkamah Agung.

Secara teknis, pedoman tersebut sebenarnya telah mengatur pelaksanaan eksekusi dengan cermat tetapi yang masih sering menjadi permasalahan didalam praktik adalah bagaimana pengejawantahan dari aturan itu sendiri. Di dalam kandungan aturan tentang eksekusi, walapun telah ditetapkan beberapa sanksi apabila pejabat/badan tata usaha negara menolak melaksanakan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, masih dirasakan oleh pencari keadilan belum sepenuhnya mengakomodir nilai-nilai keadilan masyarakat dikarenakan sanksi yang ada hanya bersifat administratif saja sehingga tidak memberi efek represif kepada pejabat/badan tata usaha negara yang seharusnya menjalankan putusan tersebut. Padahal konsep peradilan administrasi itu sendiri adalah sebagai lembaga kontrol yuridis dari pemerintah. Lembaga yang bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum secara efektif terhadap warga negara oleh akibat penyelenggaraan pemerintahan yang merugikan warga negara tersebut. Apalah artinya suatu lembaga kontrol terhadap tindakan pemerintah apabila dalam tindak pelaksanaannya tidak memiliki daya paksa atas suatu ketidakpatuhan pemerintah.

Sebagai perbandingan dalam perkara perdata, dikenal pada dasarnya ada dua bentuk eksekusi ditinjau dari segi sasarannya yang hendak dicapai yaitu eksekusi riil dan eksekusi untuk melakukan pembayaran sejumlah uang. Khusus terhadap eksekusi riil, terdiri atas beberapa perintah antara lain menyerahkan suatu barang, mengosongkan sebidang tanah atau rumah, melakukan suatu perbuatan tertentu, dan menghentikan suatu perbuatan atau keadaan. Sebelum eksekusi riil dilaksanakan ada tahapan yang wajib dilalui yaitu pertama-tama adalah pemanggilan dan kemudian peringatan atau teguran (aanmaning) oleh Ketua Pengadilan kepada pihak termohon. Apabila terhadap peringatan tersebut pihak termohon masih enggan melaksanakan putusan, maka dikeluarkan surat penetapan oleh Ketua Pengadilan yang berisi perintah paksa untuk menjalankan eksekusi yang ditujukan kepada panitera atau juru sita. Dalam kondisi tertentu apabila diperlukan, eksekusi dapat dilakukan dengan bantuan kekuatan umum yaitu pihak kepolisian atau militer.

Di dalam ketentuan undang-undang tentang peradilan tata usaha negara menyangkut pelaksanaan eksekusi diatur bahwa terhadap putusan yang mewajibkan pejabat/badan tata usaha negara mencabut keputusan pejabat/badan tata usaha negara, apabila setelah 60 (enam puluh) hari kerja putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap tidak dilaksanakan oleh pejabat/badan tata usaha negara, keputusan tata usaha negara yang disengketakan itu tidak mempunyai kekuatan hukum lagi. Ketentuan itu disebut sebagai eksekusi otomatis yaitu dengan batas waktu tertentu setelah putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap, keputusan pejabat/badan tata usaha negara yang menjadi objek sengketa akan dengan sendirinya secara yuridis tidak berlaku lagi. Pada praktiknya, ketentuan tersebut memang tidak membawa persoalan apa-apa bagi pencari keadilan tapi bagaimana jikalau putusan pengadilan tersebut disertai pula dengan perintah mewajibkan kepada pejabat/badan tata usaha negara untuk menerbitkan suatu keputusan tata usaha negara yang baru. Pada prinsipnya eksekusi sebenarnya tidak perlu ada apabila pejabat/badan tata usaha negara mau dengan sukarela melaksanakan isi putusan yang menjadi kewajibannya. Sedangkan suatu eksekusi tanpa daya paksa tentunya akan menjadi suatu tindakan yang sia-sia. Daya paksa yang terdapat dalam ketentuan yang ada saat ini, hanya berupa pembayaran uang paksa dan/atau sanksi administratif serta diumumkan pada media massa cetak setempat. Sepintas lalu sanksi tersebut kelihatannya telah cukup tegas tetapi dalam kenyataannya apabila dihadapkan dengan rasa kesadaran hukum dari aparat pemerintah yang masih kurang dan ditambah pula dengan beberapa permasalahan teknis lainnya, maka sanksi tersebut akan menjadi lemah. Apabila pejabat/badan tata usaha negara memiliki kesadaran hukum, maka tidak perlu ada eksekusi karena pastinya putusan peradilan tersebut akan dilaksanakan dengan sukarela. Permasalahan teknis yang akan muncul dalam sanksi tersebut antara lain adalah menyangkut siapa yang akan dibebani tanggungan pembayaran uang paksa, apakah secara diri pribadi pejabat tata usaha negara yang bersangkutan atau secara kedinasan dalam rangka menjalankan jabatannya. Ini juga tentunya tidak bisa terlepas begitu saja keterkaitannya dengan prinsip onrechmatige overheidsdaad atau konsep ganti rugi oleh penguasa yang sampai sekarangpun aturannya masih belum jelas. Kemudian menyangkut kepada siapa pembayaran uang paksa tersebut akan dibayarkan, apakah kepada pemohon eksekusi atau kepada pengadilan sebagai perwakilan dari negara. Apabila dibayarkan kepada pemohon eksekusi, maka kewajiban tersebut tidak ubahnya menjadi tuntutan ganti rugi yang konteksnya jelas-jelas berbeda dengan dwangsom. Apabila dibayarkan kepada pengadilan, maka akan terjadi “uang dari negara kembali untuk negara”. Selanjutnya permasalahan teknis lainnya adalah menyangkut siapa yang akan memberikan sanksi administratif kepada pejabat/badan tata usaha negara tersebut. Sanksi ini sangat terkait dengan jenjang atau hirarki kepemimpinan dari pejabat tata usaha negara yang bersangkutan. Apakah atasan dari pejabat tata usaha negara tersebut nantinya dapat bersikap objektif terhadap persoalan yang ada apabila persoalan ini berbenturan dengan nama baik institusi atasan pejabat tata usaha negara yang bersangkutan. Belum lagi ditambah persoalan apabila kewenangan pejabat/badan tata usaha negara tersebut diperoleh berdasarkan mandat atau delegasi. Selanjutnya permasalahan teknis lainnya adalah menyangkut siapa yang akan menanggung biaya penerbitan yang tidak murah apabila diumumkan pada media massa cetak setempat. Apakah oleh pemohon eksekusi sebagai pihak yang berkentingan. Apakah hal tersebut kemudian telah dapat menjamin bahwa setelah diumumkan pada media massa cetak setempat, pejabat/badan tata usaha negara yang bersangkutan akan segera melaksanakan isi putusan pengadilan yang dimaksud.

Berdasarkan uraian diatas, sangatlah jelas terlihat bahwa pelaksanaan eksekusi pada peradilan tata usaha negara memiliki daya paksa yang cukup lemah dibandingkan pada peradilan perdata. Hal ini bukan berarti bahwa pada peradilan perdata tidaklah terdapat kendala-kendala dalam pelaksanaannya. Setiap eksekusi tentunya memiliki karakteristik masing-masing dalam pelaksanaannya, hanya saja pada peradilan perdata kendala-kendala tersebut dapat menjadi lebih sederhana karena diimbangi oleh daya paksa yang lebih kuat.

Sudah menjadi asumsi umum bahwa banyak pejabat tata usaha negara yang tidak mematuhi putusan pengadilan sehingga tidaklah mengherankan dengan banyaknya permasalahan teknis yang kemudian muncul dalam pelaksanaan eksekusi putusan peradilan tata usaha negara, maka dikenallah istilah oleh masyarakat pencari keadilan bahwa pengadilan tata usaha negara ibarat seekor “macan ompong”. Diibaratkan seekor macan dikarenakan merupakan suatu institusi “gerbang terakhir keadilan” bagi justitiabelen dalam sengketa tata usaha negara, tetapi ompong dalam pelaksanaan putusannya atau tidak memiliki gigi yang cukup tajam dan kuat untuk menghukum para pejabat tata usaha negara yang telah melanggar aturan perundang-undangan serta AAUPB.

Sebagai contoh dalam pengalaman praktik penulis, masih adanya asumsi dari kalangan pejabat tata usaha negara di daerah yang menganggap bahwa putusan-putusan pengadilan tata usaha negara tidak lebih hanya sekadar sebuah penetapan saja. Dikatakannya bahwa suatu penetapan tidak memiliki daya mengikat secara hukum, bisa dilaksanakan atau bisa juga tidak. Berbeda dengan putusan pengadilan negeri, mahkamah agung, atau mahkamah konstitusi yang putusannya memiliki daya mengikat secara hukum dan daya paksa eksekutorial yang apabila perlu dilaksanakan dengan bantuan aparat kepolisian. Sungguh sangat disayangkan dengan masih adanya pemikiran kerdil seperti ini. Kenyataan ini tentunya tidak terlepas dari adanya kemungkinan karena masih kurangnya pemahaman dan kesadaran hukum dari pejabat tata usaha negara yang bersangkutan, atau mungkin juga karena memang masih sangat lemahnya daya paksa eksekutorial dari peradilan administrasi Indonesia yang berujung pada terjadinya degradasi kewibawaan lembaga peradilan.

Oleh karenanya peran ketua pengadilan memiliki andil besar dalam mengawasi eksekusi putusan di wilayah hukumnya. Seorang ketua pengadilan tata usaha negara selain harus meminta penjelasan kepada pejabat tata usaha negara yang tidak atau enggan melaksanakan putusan termasuk menanyakan alasan-alasan dan hambatan yang dialami oleh pejabat tata usaha negara sebagai tergugat, juga harus bersikap tegas dalam mewujudkan pelaksanaan eksekusi putusan tersebut yang apabila perlu mengajukannya kepada presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintah tertinggi dan kepada lembaga perwakilan rakyat untuk menjalankan fungsi pengawasan.

Eksekusi sebenarnya sudah lama menjadi masalah di lingkungan peradilan tata usaha negara. Itu sebabnya, banyak orang berharap DPR maupun instansi terkait segera memberikan solusi ketika membahas RUU Administrasi Pemerintahan. Pada medio April 2010, RUU Administrasi Pemerintahan kembali dibahas dalam Sosialisasi Rancangan Undang-undang Administrasi Pemerintahan pada saat diadakannya Bimbingan Teknis Hakim Peradilan Tata Usaha Negara yang dilaksanakan oleh Ditjen Badilmiltun Mahkamah Agung RI di Hotel Horizon Makassar.

Berbeda dengan pembahasan sebelumnya, RUU saat ini hanya terfokus pada topik “Bantuan Kedinasan dan Syarat Syahnya Keputusan Tata Usaha Negara” dan “Penerapan Azas-azas Umum Pemerintahan Yang Baik dan Diskresi” sementara banyak hal-hal yang sebenarnya krusial pada pembahasan RUU Administrasi Pemerintahan yang terdahulu misalnya konsep ganti rugi perbuatan melawan hukum oleh pemerintah maupun penerapan eksekusi putusan pada akhirnya tidak lagi dipersoalkan saat ini. Mengapa bisa demikian?

Dalam pembahasan RUU Administrasi Pemerintahan terdahulu bertema Pembekalan Teknis Peradilan Dilingkungan Peratun Menyongsong Undang-undang Administrasi Pemerintahan yang dilaksanakan oleh Ditjen Badilmiltun Mahkamah Agung RI di Hotel Kaisar Jakarta pada awal januari 2009, disiapkan suatu ketentuan yang mengatur bahwa di peradilan tata usaha negara terdapat 2 (dua) jenis atau macam gugatan yaitu pembatalan suatu keputusan pejabat tata usaha negara atas dasar pelanggaran perundang-undangan yang berlaku dan pelanggaran asas-asas umum pemerintahan yang baik; dan gugatan ganti rugi material dan immaterial atas dasar tindakan badan atau pejabat pemerintahan yang menimbulkan kerugian materil maupun immateril menurut undang-undang. Konsep ini merupakan perluasan kewenangan/kompetensi yurisdiksi peradilan tata usaha negara karena selama ini bentuk ganti rugi oleh pemerintah (onrechmatige overheidsdaad) dalam ketentuan undang-undang peradilan tata usaha negara hanyalah merupakan tuntutan tambahan yang besarannya telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1991 tentang Ganti Rugi dan Tata Cara Pelaksanaannya pada Peradilan Tata Usaha Negara dan selanjutnya tuntutan ganti rugi selebihnya dapat digugat pada peradilan perdata, dirasakan masih kurang efisien dan efektif. Materi pembahasan ini disampaikan oleh Marianna Sutadi mantan Hakim Agung/Wakil Ketua Mahkamah Agung RI. Rancangan ketentuan ini menurut penulis sangat sejalan dengan asas peradilan di Indonesia yaitu cepat, sederhana, dan biaya ringan karena pihak yang menuntut kerugian tentunya tidak perlu lagi meneruskan sengketanya pada peradilan lain yang nantinya akan menambah lamanya proses penyelesaian dan biaya administrasi yang diperlukan.

Kemudian sekaitan dengan pelaksanaan eksekusi pada peradilan tata usaha negara, juga disiapkan aturan tentang uang paksa (dwangsom).  Aturan tentang uang paksa ini telah tertuang dan diatur dalam perubahan kedua undang-undang peradilan tata usaha negara yang berlaku saat ini, hanya saja aturan itu sampai kini masih menunggu aturan pelaksanaan lebih lanjut. Sebenarnya untuk dapat mengatasi masalah pelaksanaan eksekusi ini, kenapa tidak dibuatkan saja suatu aturan dalam perundang-undangan administrasi pemerintahan dengan mengadopsi berdasarkan analogi atau penafsiran pada ketentuan Pasal 4 ayat (3) dan (4) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yaitu segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang dan setiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan ini dipidana. Kesimpulannya, suatu bentuk penolakan terhadap pelaksanaan eksekusi dapat dikategorikan telah memenuhi unsur sebagai suatu bentuk “campur tangan” dalam urusan peradilan.

Harapan penulis dalam rancangan undang-undang administrasi pemerintahan ini, sebagai bahan rumusan dan pertimbangan daripada lembaga legislatif, adalah seyogyanya dibuatkan suatu ketentuan yang mengatur apabila pemerintah melanggar ketentuan perundang-undangan dan/atau asas-asas umum pemerintahan yang baik serta selanjutnya tidak mau melaksanakan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, maka pejabat/badan tata usaha negara yang bersangkutan dapat dikenakan sanksi perdata maupun pidana. Sanksi perdata kepada pejabat/badan tata usaha negara berupa ganti rugi materil maupun immateril apabila melanggar ketentuan perundang-undangan dan/atau asas-asas umum pemerintahan yang baik serta sanksi pidana apabila pejabat/badan tata usaha negara yang bersangkutan tidak mematuhi perintah putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Harapan ini bukannya bermaksud untuk mendiskreditkan lembaga pemerintahan tetapi semata-mata ketentuan sanksi ini ditujukan hanyalah kepada pejabat/badan tata usaha negara yang membandel dan tidak mau melaksanakan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap sehingga dapat terwujud tatanan good governance dan peradilan administrasi Indonesia yang berwibawa sebagaimana yang diharapkan bersama.

Akhirul salam, sebagai penutup, penulis menyampaikan kata tiada gading yang tak retak dan tiada kesempurnaan tanpa didahului oleh kesalahan. Kesempurnaan yang hakiki hanyalah milik Allah SWT. Semoga kekurangan-kekurangan yang terdapat dalam tulisan ini dapat diberi tambahan yang lebih baik oleh para pembaca yang budiman, sedangkan hikmah yang dapat dipetik bisa menjadi bahan masukan yang bernilai nantinya dalam perkembangan peradilan adminisnistrasi Indonesia untuk menjadi lebih baik lagi. Terima Kasih dan Wassalam!

Palu, 26 Agustus 2010.

2 komentar:

  1. Fiat Justitia et pereat mundus....( Meskipun Langit Runtuh keadilan tetap ada )..begitukah..??? chimot4474.blogspot.com

    BalasHapus